Secercah Tentang Pilkada Malut (Potret kata cantik yang lebih luas)

Oleh:

Ibrahim Yakub,S.E,M.E (Pengamat Kebijakan Publik)

Momentum pilkada 27 November kian hari semakin dekat di ingatan masyarakat, Ramai, masing-masing membicarakan figur calon kepala daerah baik calon gubernur dan wakil gubernur, bupati/walikota mereka dengan ragam penilaian serta pendekatan, Dari visi-misi, track record, bahkan sampai Relasi backup politik kandidat dalam sisi finansial atau cost konsolidasi politik.

Namun beberapa pendekatan tersebut semua di integrasikan sebagai Infrastruktur politik untuk mengukur kemenangan para calon kepala daerah disetiap kabupaten/Kota. Ada yang banggakan dengan kekuatan partai politik yang mengusungnya dan ada juga yang meyakini kemenangan berdasarkan kedudukan kekuasaan yang masih dikendalikan olehnya (Petahana). Begitulah motif politik yang bertebaran di ruang publik hari ini. Politik menjadi wacana primer yang menghilangkan batas kategori generasi baik sesuai zaman, golongan maupun dasar keilmuan deng latar belakang yang berbeda. At the same time everyone talks about politics.

Semua orang akan cenderung menjadikan politik sebagai objek diskursus sebab menyangkut dengan General will Seirama dengan peletak fondasi Teori politik klasiknya Aristoteles bahwa politik ialah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Api jauh dari panggang, itulah hasil demokrasi politik yang meninggalkan kemelaratan berkepanjangan dibandingkan kesejahteraan untuk masa depan. Visi dan misi hanya habis dalam debat lalu terbawa mimpi yang alibi, senyatanya warga negara hanya di jadikan komoditi politik yang diperjualbelikan suaranya untuk mempertahankan bahkan merebut kekuasaan.

Di antara sejumlah dinamika demokrasi politik yang berlangsung, Maluku Utara menjadi salah satu provinsi yang ikut dalam arus politik kepala daerah tahun 2024. Tagline para kandidat serta jargon politik kandidat baik di ruang publik terbuka maupun media sosial dan online mewarnai mata pembaca Masyarakat maluku utara. Sejauh ini isu yang krusial di debatkan dari waktu ke waktu tentang pilkada Malut ialah politik identitas yang bersarung agama juga money politics.

Politik identitas dan money politics merupakan hal yang bisa dikatakan lumrah, kental politik identitas itu disebabkan Demokrasi telah dikotak-kotakkan tentang etnis, ras dan agama kalangan tertentu. Demikian money politics yang sudah menjadi kebiasaan, oleh karena Demokrasi politik kita di Maluku Utara terlanjur mengutamakan arus modal pengusaha untuk mencampuri urusan perut rakyat yang berdaulat lewat pemimpin yang dipilih. Tidak bisa menang jika tidak punya uang, apalagi tanpa disokong dana dari perusahaan raksasa yang bersembunyi dibalik kepentingan elit nasional bahkan internasional.

BACA JUGA   Halmahera ; Sebuah Tafsir Ekologi

Tentang “CANTIK” di Pilkada Malut

Menariknya pilkada di Maluku Utara terbilang unik dan sengit karena telah bermunculan figur perempuan yang ikut meramaikan kontestasi pilkada tahun 2024, dengan tagline memilih yang cantik, dalam waktu yang singkat mampu menghipnotis sebagian masyarakat Maluku Utara. Penulis coba meminjamn tagline ini untuk melihat dia dalam subjektivitas penulis. Sebagai ruang ekspresi maka banyak yang akan melihat cantik dalam prespektif yang beragam, bisa melihat secara eksistensi atau esensi. Jika melihat secara eksistensi maka yang dipandang adalah fisik, namun jika yang di pandang ialah esensi maka yang dinilai ialah jiwa. Seperti Socrates yang mengingatkan bahwa kita berjuang bukan untuk kesempurnaan fisik tetapi kesempurnaan jiwa. Maka marilah melihat cantik dengan esensi sehingga kita akan tetap waras memilih orang yang berjiwa baik demi kebaikan Maluku Utara.