Oleh:
Gusti Ramli (Formateur Ketua Umum SEMA HABAR Kota Ternate)
Di pojok ruangan Deepa Cafe, saya dan dua rekan Mahasiswa tengah menikmati dua cangkir Americano dan secangkir Ice Coffee Bonbon, kami membahas satu berita yang mengganggu nalar: seorang mantan narapidana korupsi diangkat kembali menjadi pejabat publik. Diskusi kami pun bergulir ke satu pertanyaan besar, apakah birokrasi kita masih peduli pada etika?
Pertanyaan itu tidak muncul dalam ruang hampa. Ia lahir dari keprihatinan kolektif atas praktik pemerintahan yang kian menjauh dari nilai-nilai etik. Ketika integritas tak lagi menjadi prasyarat kepemimpinan, dan masa lalu kelam bisa dipoles dengan narasi “telah menjalani hukuman,” maka yang kita hadapi bukan sekadar kelalaian prosedural, melainkan erosi moral yang sistemik. Di titik inilah, etika publik seharusnya tampil bukan sebagai hiasan normatif, tapi sebagai fondasi utama dalam merumuskan kebijakan dan menunjuk pemimpin.
Nama Abjan Sofyan sepertinya tidak familiar di telinga saya, beberapa individu pernah mengungkapkan sosok yang satu ini. Di layar ponsel yang saya genggam, pernah menjadi saksi atas keingin tahuan saya terhadapnya. Benar, di beberapa media pemberitaan menayangkan rekam jejak yang kelam, penuh ketimpangan, hingga hari ini ketimpangan itu masih di rasakan masyarakat Halmahera Barat usai uang daerah sebesar 11,8 Miliar yang telah disalah gunakan oleh Abjan Sofyan Cs pada tahun 2007-2009 silam.
Pengangkatan mantan narapidana korupsi sebagai Ketua Tim Percepatan Pembangunan (TPP) Provinsi Maluku Utara oleh Gubernur, menandai kemunduran serius dalam praktik etika pemerintahan. Ketika individu yang telah terbukti merugikan publik justru diberi kepercayaan memegang jabatan strategis, yang terjadi bukan hanya krisis kepemimpinan, tetapi juga erosi nilai—sebuah situasi di mana batas antara moralitas dan kepentingan pragmatis menjadi kabur.
Dalam kerangka etika publik, tindakan semacam ini mencerminkan kegagalan moral dalam sistem pemerintahan. Etika publik menuntut bahwa selain memiliki kapasitas teknis, seorang pejabat juga harus memenuhi standar moral. Dalam hal ini, etika bukan urusan pribadi semata, melainkan bagian tak terpisahkan dari kontrak sosial antara negara dan warganya.
Fenomena ini tidak lahir begitu saja. Ia tumbuh dalam kultur impunitas yang telah lama mengakar, di mana hukuman terhadap koruptor kerap dianggap sekadar formalitas. Narasi “sudah menjalani hukuman” sering digunakan sebagai pembenaran untuk menghapus ingatan kolektif atas kerusakan yang ditimbulkan. Padahal dalam kajian etika politik, proses rekonsiliasi yang sehat justru menuntut pertanggungjawaban moral, bukan sekadar pemenuhan aspek legalistik.
Angin malam berembus pelan, menyapu aroma kopi dan suara tawa kecil yang perlahan meredup, tergantikan oleh keseriusan topik yang kami bahas. Seorang teman saya yang juga Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Terbuka kembali menuangkan menu diskusi dengan meminjam gagasan Dwight Waldo tentang pentingnya etika dalam administrasi publik. Obrolan itu membuka cakrawala, bahwa; etika publik bukan sekadar wacana normatif dalam dokumen perundangan, tetapi prinsip hidup yang menjadi pijakan bagi tegaknya kepercayaan antara negara dan rakyat.