Oleh : Ria Hartati, SE.,M.Ak.
Dosen STIE Insan Pembangunan Tangerang
Financial Technology (Fintech), merupakan istilah yang tak asing lagi. Dalam sebuah sumber dijelaskan bahwa sepanjang tahun 2020 P2P alias Pinjaman Online mengalami pertumbuhan signifikan hingga 130% dibandingkan dengan periode tahun sebelumnya.
Mengapa hal demikian terjadi?
Hal ini disebabkan karena pandemi yang terjadi pada tahun 2020 lalu, banyak perusahaan akhirnya gulung tikar dan banyak karyawan yang dirumahkan. Menjadi sebuah persoalan, karena mereka memerlukan biaya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Karena itulah, dengan adanya fintech, masyarakat dapat melakukan aktifitas dari rumah dengan memanfaatkan kemudahan yang diberikan oleh perusahan penyedia fintech, utamanya dalam hal pemberian modal.
Jika ditelusuri, sejarah perkembangan fintech telah dimulai pada tahun 2005. Dimana pada saat itu, di Eropa, tepatnya di Inggris, perusahaan fintech mulai bermunculan dalam bentuk P2P. Karena dirasa sangat berkembang di Eropa, pada awal tahun 2006, Amerika Serikat menyusul mengembangkan fintech, awal muncul perkembangannya adalah Prosper Marketplace Lending Club.
Barulah menyusul perkembangannya di China dalam bentuk P2P Lending, pada tahun-tahun berikutnya, perkembangan fintech sangatlah pesat dan akhirnya muncul di Indonesia pada tahun 2015 melalui AFI (Asosiasi Fintech Indonesia) yang bertujuan untuk menyediakan partner bisnis yang mumpuni.
Kehadiran AFI menjadi salah satu pemicu perkembangan fintech di Indonesia tepatnya pada tahun 2016, nama perusahaan fintech bermunculan setelah itu. Saat ini fintech yang terdaftar di OJK sebanyak 152, namun yang tidak terdaftar atau ilegal bermunculan lebih dari itu.
Keuntungan dan kekurangan fintech pun beragam. Dimana keuntungan yang dimiliki oleh fintech salah satunya adalah mudah dalam melayani konsumen, informasi cepat dan murah, proses cepat, pelayanan efisien. Sedangkan, kekurangan yang dimiliki fintech salah satunya adalah wajib terkoneksi internet, hanya menjangkau pebisnis yang melek internet, rawan penipuan, biaya tinggi, data pribadi dapat diakses aplikasi pinjaman online.
Terdapat banyak kekurangan yang dimiliki oleh fintech, namun dalam beberapa sumber menyebutkan bahwa peran penting fintech dalam UMKM sebanyak 70%. Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per juni 2018, menyatakan bahwa aliran pinjaman dari berbagai penyelenggara jasa fintech telah mencapai Rp. 7,64 Triliun.
Dengan demikian maka, sebanyak 5,35 triliun atau 70% dana mengalir ke pedagang eceran. Sehingga peran penting yang dimiliki fintech terhadap UMKM sangat beragam.
Namun banyak pula yang mengeluhkan bahwa bunga yang dirasa mencekik sehingga sangat menyusahkan para peminjam, ada pula yang merasa penagih hutang sangat meresahkan para peminjam.
Diketahui dari beberapa sumber bahwa peminjam fintech didapati banyak yang berusia 19-34 tahun atau sekitar 70,07%, dengan kata lain banyak peminjam fintech berasal dari peminjam yang berusia produktif.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa fintech hanya media yang membantu keuangan sementara. Namun kemudahan yang diberikan oleh perusahan fintech harus dibayar dengan biaya bunga yang tinggi dan mencekik para peminjam.