Akar Represi Seksual, Kritik Terhadap Oedipus Kompleks Sigmund Freud

oleh :

Abdul Gafur Thalib

“Freud telah memberikan penolakan terhadap kebahagiaan perempuan sebagai bagian dari kemanusiaan yang dia pertahankan sebaik ia mempertahankan ide tentang klitoris”

Sebagai generasi terbaik, tugas kita dalam kerja-kerja pembebasan adalah mengkritik yang tak kenal ampun segala pemikiran yang tumbuh dengan sangat menggenaskan, dari teks-teks buku para pemikir, terutama pemikiran yang menyebarkan pengaruh buruk terhadap perjuangan menuju pembangunan masyarakat sosialisme. Di tahun 1874 tugas tersebut telah diperjuangkan oleh F. Engels : pentingnya perjuangan teori. Bahwa sosialisme sejak ia menjadi ilmu, menuntut supaya ia diperlakukan sebagai ilmu, yaitu supaya ia dipelajari dan diperjuangkan.

Sebagai generasi Pembebasan, yang terbaik adalah yang memiliki semangat juang yang kokoh terhadap sosialisme, maka itu kita harus bersikap kritis terhadap doktrin apapun yang mengganggu perjuangan kita termasuk terhadap doktrin Oedipus Kompleks dari Sigmund Freud yang telah puluhan tahun mendustai dan merepresif kehidupan seksual rakyat.

Sigmund Freud Mendustai Kita

Oedipus kompleks merupakan hasrat-hasrat tak sadar dari seorang anak lelaki terhadap ibunya dan hasrat untuk menggantikan atau menghancurkan ayahnya, muncul pada usia empat sampai lima tahun. Menurut Freud anak-anak menjadi tertarik secara seksual kepada orang tua yang berlawan jenis dengannya dan takut kepada orang tua dengan jenis kelamin yang sama, yang dipandangnya sebagai lawan.
Sigmund Freud seperti Bachofen, dia menyajikan teori di atas landasan mitologi Yunani. Bachofen menyajikan mitologi Orestesia tentang perjuangan dramatis dewi Erinyes mempertahankan hak ibu, melawan kebangkitan hak ayah yang diwakili oleh dewa Apollo dan Athena dalam kasus pembunuhan Orestes terhadap ibunya, sedangkan teori Oedipus Kompleks berdiri di atas landasan mitologi pembunuhan Oedipus terhadap ayah kandungnya, raja Laius. Namun sebenarnya Freud telah mendustai kita, karena dalam peristiwa pembunuhan tersebut, Oedipus sama sekali tidak mengetahui siapa ayah kandungnya.

BACA JUGA   Pilkada Halsel 2024, Kasiruta Dapat Apa? 

Oedipus dibuang sejak dari kelahirannya. Dia kemudian diadopsi oleh raja dan ratu Korintus yang tidak memiliki anak. Dalam prosesnya menuju dewasa, Oedipus mengetahui ramalannya, bahwa ia akan tumbuh besar untuk membunuh ayahnya sendiri. Karena dia tidak ingin membunuh raja Korintus yang ia anggap sebagai ayahnya maka dia pergi meninggalkan Korintus. Dalam perjalanan menuju ke Thebes, Oedipus terlibat berkelahi dan membunuh laki-laki asing yang sebenarnya adalah ayah kandungnya, raja Laius. Ia kemudian menikah dengan janda ratu Jocasta yang tanpa sepengetahuannya adalah ibu kandungnya. Oedipus sama sekali tidak berniat membunuh raja Laius karena alasan hasrat menghancurkan ayah kandungnya demi menikahi ibunya atau sebagai seorang anak yang menderita Oedipus kompleks. Karena saat kejadiaan-kejadian tersebut berlangsung, mereka hanyalah orang asing baginya. Jadi, teori yang dibangun Freud sebenarnya bermasalah diatas pijakan mitologinya yang sekaligus juga bertentangan dengan cara pandang dialektika yang kita percaya.