Menggubah Patriarki

Oleh : Abdul Gafur Thalib

Penulis adalah Dosen di Universitas Bumi Hijrah

“Norma-norma dan praktik-praktik yang merendahkan masyarakat yang berlandaskan pada eksploitasi secara langsung maupun tidak langsung terhadap tubuh dan aktifitas perempuan di ranah privat maupun di ruang publik ”

(Abdul Gafur Thalib)

Tulisan ini dibuat bukan untuk meringankan beban masyarakat patriarki. Sebaliknya, tulisan ini adalah bentuk kritikan terhadap definisi lama yang disemai kepada patriarki. Beberapa orang pembuat dan pengritik teori patriarki telah mendefinisikan patriarki menurut sudut pandang mereka masing-masing.

Sayangnya, bobot mereka  masih sama, yakni tetap menggunakan kualitas lama dari defenisi patriarki. Hal ini karena  kekurangan mereka dalam cara menggunakan metode dialektika sebagai alat untuk menganalisa. Sebagai alat analisa, dialektika, jika digunakan untuk membedah dirinya sendiri, hasilnya kita akan menemukan fungsi lainnya yang bisa dioperasikan sebagai alat untuk reparasi.

Sehingga, dalam tulisan ini, kita akan menggunakan fungsi reparasi tersebut sebagai alat untuk memperbaiki definisi lama yang diderita oleh patriarki. Disinilah letak pembeda definisi lama patriarki dan definisi patriarki yang akan digubah dalam tulisan ini.

Salam juang, pembaca.

Si Fulan bertanya kepada Symon. Apa pembeda antara simpanse betina dan perempuan ?, mereka sama-sama mengalami siklus menstruasi namun hanya perempuan yang menemukan sistem awal pertanian. Sebuah peradaban masyarakat yang dimulai dari kerja perempuan, bukan hasil kerja simpanse. Anwar, salah satu mahasiswa fakultas pertanian yang juga duduk bersama kami, menyetujui jawaban Symon.

Namun, kejayaan perempuan berumur pendek. Peranan penting perempuan sebagai manusia awal penemu peradaban hilang setelah munculnya kepemilikan surplus dan teknologi pertanian. Seiring bergeraknya waktu, norma-norma baru yang eksploitatif pun mulai dibuat oleh kelas yang berkuasa. Norma-norma ini berlandaskan pada eksploitasi terhadap tenaga kerja, termasuk terhadap perempuan, yang masih dipakai oleh masyrakat sampai saat ini.

BACA JUGA   Fenomena Komunikasi : Budaya Menunduk Remaja Kota Ternate

Norma-norma di atas dan praktek-praktek eksploitatif dapat ditunjukkan dalam sejarah dan kehidupan kita sehari-hari. Seperti yang ditunjukkan oleh Gerda Lerner, menurut ia “dalam pandangan agama dikemukakan bahwa perempuan disubordinasikan kepada laki-laki karena kaum perempuan diciptakan demikian dan karen itu diberi peranan dan tugas yang berbeda. Dan karena perbedaan-perbedaan ini alamiah, tidak seorang pun bisa dipersalahkan atas adanya ketimpangan antar jenis atau adanya kekuasaan laki-laki terhadap perempuan”. Pandangan kuno ini bukan hanya dimiliki oleh ortodoksi agama.

Teori-teori pseudo-ilmiah juga disebarluaskan untuk membuktikan bahwa kaum laki-laki itu tinggi dan perempuan rendah. Aristoteles, seorang filsuf Yunani kuno, mengajukan teori, baginya perempuan adalah “laki-laki yang tidak lengkap”, manusia yang tidak punya jiwa. Ia mengatakan keberanian laki-laki lahir untuk berkuasa dan keberanian perempuan diperlihatkan dalam tindakan mematuhi.