Ternate,- Tim Advokasi Kekerasan Terhadap Jurnalis menyesalkan pernyataan Wakil Wali kota Tidore pada kabarhalmahera.com bertajuk Muhammad Sinen Minta Maaf ke Polres Tidore Atas Insiden “Keributan” di Ruang SPKT, Minggu 04/09/2022.
Muhammad Tabrani, Tim Advokasi Kekerasan Terhadap Jurnalis mengatakan, dalam pemberitaan itu, Wawali kehadirannya di Polres Tidore saat itu bertujuan menjenguk ponakannya (Ari), usai mendengar kabar bahwa ia dilaporkan atas dugaan kasus pemukulan terhadap Nurkholis.
“Padahal, yang sebenarnya adalah ia datang bersamaan dengan ponakannya Ariyanto Marajabessy ke Polres setelah Korban Nurkholis melapor ke SPKT Polres Kota Tidore Kepulauan. Bagaimana mungkin menjenguk kalau datangnya saya berbarengan. Itu yang pertama,” ungkap Tabrani, Senin, 5 September 2022.
Yang kedua, Wawali mengatakan selain itu, kedatangannya itu juga memastikan maksud dan tujuan dari artikel yang ditulis Nurholis, bertajuk “Hirup Debu Batubara Dapat Pahala”. Tulisan ini sebelumnya dipublikasi melalui pratfom media online cermat.co.id. Namun pada akhirnya tulisan ini kemudian dihapus, saat Nurkholis mendapat tekanan di rumah mertuanya di Tidore oleh orang dekat Wakil Wali Kota Tidore.
Bahkan, menurut Wakil Wali Kota Tidore, artikel Nurkholis itu merupakan pandangan subyektif dan terkesan menyudutkan dirinya secara pribadi. Padahal, Wawali tidak mengerti kalau artikel atau opini, yang ditulis di platform media baik itu cetak maupun online merupakan sebuah karya jurnalistik (jurnalisme) atau sering disebut opinion journalism.
Dalam Opini wartawan (jurnalis) dapat mengabarkan ide, gagasan, pemikiran, pandangan atau analisanya tentang sebuah peristiwa. Dalam jurnalistik opini juga sebagai fakta dalam gagasan (fact in idea) yang hakikatnya melaporkan fakta.
Jadi Opini termasuk karya jurnalistik. Kalau Wawali merasa keberatan dengan isi opini nurkholis, seharusnya upaya yang ditempuh adalah hak jawab atau hak koreksi karena setiap orang punya hak untuk memberikan tanggapan atau mengoreksi (ralat) terhadap suatu informasi, data, fakta opini, atau gambar yang tidak benar diberitakan oleh pers. Dan pers walib melayani hak jawab atau hak koreksi tersebut. Jika memang ada kekeliruan.
Tapi kalau tidak ada kekeliruan opini tersebut tidak perlu dikoreksi. Bukan malah mengintimidasi wartawan untuk menghapus opininya. Itu yang kami sesalkan cara-cara premanisme untuk menghambat dan membatasi wartawan (jurnalis) menyampaikan gagasan atau informasi seperti ini tidak bisa dibiarkan, sebab sebagaimana disebutkan dalam Pasal 8 UU Pers bahwa dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.
Perlu kami luruskan pernyataan-pernyataan yang menyesatkan publik seperti itu, ternyata banyak orang di era serba terbuka seperti ini belum memahami peranan wartawan (jurnalis) dalam sebuah negara demokrasi seperti Indonesia.
Peranan pers itu diantaranya memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, mengembangkan pendapat umum, melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Oleh karena itu, maka setiap karya jurnalistik yang dibuat oleh wartawan (jurnalis) harus dilihat dalam perspektif itu.
“Kalau ada wartawan yang nakal silahkan dilaporkan ke Dewan Pers, sudah ada mekanismenya. Tapi jangan dengan cara-cara “purba” mengintimidasi, mengancam, dan melakukan kekerasan,” ujarnya.
Sumber : AJI Ternate