Meretas Paradox Of Plenty

Meretas Paradox Of Plenty

Oleh : Risky Ismail


Masih segar dalam ingatan kita beberapa waktu yang lalu, saat Presiden Joko Widodo secara tegas mengatakan bahwa Indonesia bisa keluar dari kutukan sumber daya alam menuju industri yang memiliki nilai tambah. Dilansir dari republika.co.id (16/08/2019), secara rinci upaya tersebut dapat dilakukan dengan tiga hal, yakni inovasi distruptif, kualitas sumberdaya manusia (SDM) unggul dan penguasaan teknologi. Paradoks memang, jika kita kaitkan langkah kebijakan pemerintah dengan angka pertumbuhan ekonomi yang cenderung melambat, baik sebelum dilanda pandemi maupun pasca diterapkan new normal.


Mengacu pada data BPS, pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2020 tercatat minus 2,07 persen. Realisasi produk domestik bruto (PDB) ini anjlok dibandingkan tahun 2019 sebesar 5,02 persen, sekaligus terburuk sejak krisis 1998 yang tumbuh minus 13,16 persen. Berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi yang melambat, tingkat kemiskinan juga terus terjadi peningkatan di tahun 2020 yakni sebesar 9,78 persen.


Sebagai negara dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, seyogyanya laju pertumbuhan ekonomi harus sejalan dengan sumber daya alam yang ada, sehingga berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Ketidak-sesuaian inilah yang disebut dengan kutukan sumber daya alam.
Istilah “kutukan sumber daya alam” pertama kali dicetuskan oleh Richard Auty, ekonom sosial berkebangsaan Inggris. Ia menjelaskan bahwa negara yang kaya akan sumber daya alam ketika tidak dibarengi dengan kemampuan sumber daya manusia dalam memanfaatkan kekayaannya untuk mendorong perekonomian, akan cenderung mengalami perlambatan ekonomi, juga performa pembangunan ekonomi dan tata kelola pemerintahannya (good governance), akan lebih rendah dibandingkan dengan negara yang minim sumber daya alam (Auty, 1993).


Secara makro, pendapatan dari sektor pertambangan berkontribusi bagi stabilitas APBN. Berlainan jika ditinjau secara mikro dengan melihat fenomena yang terjadi di negeri ini. Misalnya Aceh, daerah yang dikaruniai kekayaan alam berupa perak, gas alam, minyak bumi, emas dan batu bara, namun terbukti menyumbang angka kemiskinan tertinggi 15,43 persen (BPS,2020). Disusul Riau yang didominasi minyak bumi dan gas alam, serta Papua dengan tembaga dan emasnya, namun pertumbuhan ekonomi Papua melemah minus 10,44 persen, dengan menyumbang tingkat kemiskinan dan angka buta huruf tertinggi di Indonesia.

BACA JUGA   Urgensi Penataan Sistem Pemilu sebagai Upaya Penguatan Stabilitas Sistem Pemerintahan Presidensial


Sachs dan Warner, (2001) dalam penelitiannya menemukan bahwa pertumbuhan ekonomi di negara kaya sumber daya alam cenderung melambat, juga cenderung terjebak pada fenomena rent seeking. Mendasari penelitian tersebut, muncul berbagai anggapan bahwa sumber daya alam, justru lebih merupakan kutukan daripada sebagai berkah. Temuan ini sejalan dengan Nankani (1980) bahwa negara pengekspor mineral tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Mematahkan Kutukan
Sach dan Stiglitz (2007) dalam bukunya “Escaping The Resource Curse” membagi empat pemain utama dalam masalah ini. Terdiri dari perusahaan berskala internasional, perusahaaan nasional, pemerintah dan perwakilan dari rakyat dimasing-masing daerah. Dari empat pemain utama tersebut munculah yang disebut dengan asimetris informasi, agen asimetris dan kekuatan tawar. Masalah agen asimetris adalah masalah yang paling mendasar dibanding dua masalah asimetris lainya yang hanya berperan sebagai pendukung.