Oleh: Firman M Arifin
Ruangan yang dijadikan sebagai pabrik mini pembuatan sagu lempeng tak begitu besar, hanya berukuran 4 x 3 meter berdinding seng semi terbuka. Tiga buah mesin gilingan singkong terparkir berjejeran, “satu mesin itu masih bisa beroperasi, hanya saja penutupnya sudah rusak, jadi perlu ada perbaikan,” ucap perempuan paruh baya sambil menunjuk satu buah mesin yang kakinya mulai berkarat.
“Yang ini produktivitasnya rendah sesuai dengan ukurannya, untuk itu hanya diperuntukan untuk mencukur kelapa,” lanjut perempuan itu sambil bergerak mendekati mesin yang dimaksud.

Satu buah mesin lagi masih tampak baru, telihat dari bentuk mesin yang masih mengkilap dan stiker masih melekat, “iya, mesin ini kami baru terima, sekitar seminggu bantuan dari Disperindag Provinsi,”.
Dari Singkong ke Sagu Lempeng
Rusmiyati (48) mengaku profesi yang dijalaninya kini memasuki satu dekade di tahun ini, dijalaninya bersama sang suami membutuhkan kesabaran yang ekstra. Proses pengolahan yang membutuhkan waktu seharian penuh tentunya cukup menguras tenaga dan pikiran. Namun di sisi lain, ia mengaku terbantukan dengan sumber pasokan bahan baku yang melimpah. Bahan baku biasanya diterima dari seorang pedagang dari Jailolo ketika berdagang di Pasar Sarimalaha Tidore diwaktu hari pasar, maupun masyarakat di kampungnya.

“Hampir selalu ada, kami memiliki langganan pasokan kasbi (singkong) dari pedagang Jailolo, adapun dari masyarakat disini,” katanya.
Sehari sebelumnya (30/1), Istri dari Om Mur itu memastikan stok bahan baku yang dibelinya dari pasar tersedia, “dari proses mengupas singkong itu mulai dari malam, biasanya selepas waktu Isya dan lanjut membersihkan dan mencuci daging singkong.”
Detik jarum jam telah menunjukan pukul 04.35 WIT dini hari (31/1), kampung Topo masih diselimuti kabut tipis, hujan baru saja reda. Hawa dingin masuk dari berbagai cela-cela seng. Dua bokor aluminium berdiameter 1 meter berisi daging singkong mulai bergantian masuk ke dalam mesin penggiling yang meraung dan berubah tekstur menjadi bubur, proses penggilingan membutuhkan waktu kurang lebih tiga puluh menit.

“Sebelum matahari terbit, kita memastikan telah masuk ke alat dongkrat,” ucap Om Mur sembari tangannya sibuk mengisi bubur singksong ke dalam karung. Alat dongkrak berfungsi sebagai pemisah antara air dan serut daging singkong melalui tekanan dongkrak botol berkekuatan 20 ton, ini untuk memastikan agar tidak ada lagi kandungan air dan tersisa hanyalah serut singkong yang benar-benar kering.
Guyuran air dari perasan alat dongkrak tak lagi menetes, hal ini menandakan air dalam kandungan bubur telah kering, setelah melalui dua jam dalam alat donkrak. Dari sini menghasilkan serut yang masih kasar, proses selanjutnya penyempurnaan tekstur dari kasar menjadi lebih halus melalui mesin, ini tahap terakhir mengolah serut menjadi tepung singkong.