Perdebatan jumlah korban terjadi dalam tiga tragedi tersebut. Versi pemerintah dan versi non pemerintah tidak pernah menemukan titik temu. Hal tersebut akan menambah deretan panjang beban sejarah.
Angka kematian tidak selayaknya dipandang soal jumlah semata. Dari angka akan menegaskan latar sosiologis kejadian, penilaian situasi, tingkat kedaruratan, dampak psikologis hingga siapa yang harus bertanggung jawab.
Kegagalan Negara
Perdebatan tentang angka kematian disetiap tragedi adalah anomali di negara demokrasi ini. Negara lagi-lagi gagal untuk mencegah tingginya korban. Pelaku, soal siapa yang benar dan siapa yang salah tidak jelas batas ujungnya. Suatu kondisi yang memilukan, anarkis dan berlarut-larut.
Tragedi 1965 merupakan bukti kegagalan negara mengelola masyarakat yang majemuk yang bertikai. Dalam konteks aparat yang harusnya menjadi pelindung ditengah pertikaian malah bersikap sebaliknya. Pembunuhan massal terjadi. Ingatan tentang kebencian pada semua hal yang berbau komunis berusaha diawetkan oleh rezim yang berkuasa saat itu.
Selain itu juga, pelanggaram HAM saat reformasi 1998 juga belum tuntas. Salah satu hal yang mengemuka pada saat itu adalah terkait sentiment anti-Tionghoa. Tragedi yang diwarnai dengan pembakaran, perkelaian, perusakan, penjarahan dan bahkan pemerkosaan. Sampai hari ini pun, dalang dibalik kejadian tersebut tidak terungkap. Kasus hukumnya pun seolah tidak berujung dan menguap.
Kondisi aktual yang tidak kalah memilukan adalah tragedi penanganan Covid-19. Rasanya tidak terlalu susah menemukan dimana letak kesalahan pemerintah. Sejak awal kasus Covid-19, pemerintah cenderung abai.
Langkah strategis yang seharusnya diambil untuk membatasi mobilitas malah dibersikap sebaliknya dengan mempromosikan wisata yang jelas malah mendorong mobilitas.
Selain itu juga, dalam penanganannya tidak jarang menjadi ajang berebut panggung antar elit politik. Akibat dari buruknya penanganan tersebut, Indonesia menjadi salah satu negara dengan angka kematian harian tertinggi (Worldometers, 10/8/2021)
Sejarah selalu berulang. Apa yang dialami hari ini terjadi seperti tragedi sebelumnya. Banyak versi dan tidak berujung. Tragedi kemanusiaan yang telah terjadi akan selalu diingat. Ingatan akan tragedi akan masuk dalam memori publik, dan secara terus menerus diwariskan dari generasi-generasi. Kita akan hidup dengan beban sejarah yang tidak selesai.
Seperti apa kata Cicero seorang filsuf Romawi bahwa “Sejarah adalah kesaksian yang mengiringi berjalannya waktu; dia menyoroti kenyataan, menyegarkan ingatan, memberi tuntunan dalam hidup sehari-hari, serta membawakan kita kabar akan zaman dulu”. Kalau sudah demikian, rasanya berat membangun Indonesia dengan beban sejarah kelam yang tak kunjung selesai.
Bagaimana mungkin manyelesaikan persoalan kemanusiaan yang terjadi hari ini, sementara tragedi-tragedi sebelumnya masih menjadi beban. Pelanggaran HAM yang cenderung diabaikan akan menghalangi bangsa ini membangun kesamaan hak bagi semua warga bangsa. Padahal kesamaan hak adalah salah satu dasar penting membangun demokrasi yang bermartabat.