Asal Bapak Senang (ABS)

Patah tumbuh, hilang berganti. Orde baru jatuh, Refomasi lahir. Tabiat ABS semakin membudaya. Seringkali tabiat ini tampil secara terang-terangan. Tidak lagi sembunyi-sembunyi, berkelompok, difabrikasi dan kian terorganisir.

Kini tabiat ABS menjadi lumrah dalam realitas politik kita. Para aktivis maupun jurnalis yang seharusnya  kritis pun terjangkit tabiat yang sama. Sanjung puji kepada penguasa seolah biasa. Panggung politik kini tak ubahnya opera feodal gaya baru.

Di era 4.0, para ABS disekitar penguasa kemudian bermetamorphosis menjadi peternak buzzer. Media sosial dipenuhi akun anonim yang konsisten memuji kebijakan penguasa. Orkestrasi opini, kritik dibalas fitnah, oposisi dibully.

Lebih parah lagi, para buzzer tersebut dibiayai dengan uang negara.  Seperti temuan ICW (Indonesia Corruption Watch), bahwa anggaran buzzer dari uang negara mencapai 90,4 Millyar. Buzzer diternak dan dipelihara. Dibina dan dibayar. Ironis!

Tidak hanya di tingkat pusat. Di daerah pun sedemikian parah. Bila Bupati berbaju merah, semua jajarannya ikut  berbaju merah. Begitu juga jika Sang Bupati berbaju kuning, semua jajarannya pun ikut berbaju kuning. Warna favorit berubah-ubah tergantung warna penguasa.

Para jajaran takut dimutasi, dipindahkan ke daerah terpencil, dipisahkan dari keluarga besarnya. Mereka takut tidak mendapat jabatan. Takut hidup susah. Maka apapun dilakukan. Semua bisa diatur. Bahkan utak-atik APBD, tentu “Asal Bapak Senang.”

Tidak hanya di pemerintahan. Pola pikir ABS pun menjangkiti para penerus bangsa. Tak terkecuali para aktivis mahasiswa. Kegiatan organisasi kerap mengandalkan uluran tangan penguasa, atau senior yang dekat dengan penguasa. Sehingga tidak ada kemandirian kader, kreativitas apalagi inovasi.

Kuatnya budaya ABS (baca: paternalisme dan patrimonial) tak lepas dari aspek historis dan kultur yang telah berurat di Indonesia sejak zaman pencarian rempah-rempah. Budaya ABS merupakan pola pikir warisan penjajah yang dipelihara hingga kini. Budaya feodal ini dilukiskan oleh Mochtar Lubis dalam tulisannya.

BACA JUGA   Ser Putin

“Telah berakar jauh ke zaman dahulu, ketika tuan feodal Indonesia merajalela di negeri ini, menindas rakyat dan memperkosa nilai-nilai manusia Indonesia.Tuan feodal ini biasanya para tuan tanah atau raja-raja. Di masa lalu, mereka kerap dibisikkan kabar baik yang tujuannya hanya untuk menyenangkan Sang Tuan lalu terhindar dari kemarahan, sekaligus agar semakin disayang,” (Mochtar Lubis, Situasi dan Kondisi Manusia Indonesia Kini: 1977)

Pengidap ABS kerap menjadikan kebohongan sebagai lentera, kebenaran seperti barang langka. Kaum cendikia menjadi pemandu sorak kekuasaan. Tidak ada lagi gotong royong, bahu membahu, tolong-menolong. Tidak ada team work. Semua saling berebut kepercayaan bapak, saling menggunting dalam lipatan, saling menjegal kawan seiring. Asal Bapak Senang.

Puja dan puji seringkali membuat sang penguasa terlena hingga keluar rel. Keluar jalur.

*) Penulis adalah alumni UPN Veteran Yogyakarta