Sebagai realitas ontologis, kemerdekaan Indonesia memang belum sempurna mewujud. Butuh berlapis episteme untuk mewujudkannya. Preambule UUD’45 memberi gambaran bahwa kemerdekaan kebangsaan Indonesia, disusun dalam suatu susunan undang-undang dasar negara Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dan berdasar kepada pancasila. Sebuah visi yang tentu akan terus kita capai secara epistemologis. Salah satu langkah epistemologis yang seharusnya terlebih dahulu kita kerjakan sebelum menuju pada diskursus berikutnya adalah rekonstruksi sejarah.
Kita tentu menyadari bahwa ilmu pengetahuan dibangun di atas data. Semakin valid sebuah data, maka informasi dan pengetahuan yang lahir akan semakin reliable. Demikian pula dengan sejarah kemerdekaan Bangsa Indonesia, yang selama ini kita peringati sebagai HUT-RI meskipun cacat secara epistemologis. Menggunakan data 17 Agustus sebagai peringatan hari kelahiran Republik Indonesia akan menghasilkan error informasi dan pengetahuan (knowledge). Semua data sejarah menunjukkan bahwa pada hari 17 Agustus 1945, Republik Indonesia masih berupa rancangan, belum exist, dimana Ir. Sukarno dan Drs. Moh. Hatta belum menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Baru melalui Aturan Peralihan pasal III yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945 oleh PPKI, maka diangkatlah Dwitunggal menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia untuk pertama kalinya.
Memperingati hari 17 Agustus, yang merupakan Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia dengan merubahnya menjadi Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT-RI), sejurus waktu memang tampak remeh, tidak ada yang penting untuk dipersoalkan. Namun bagi mereka yang mengerti tentang fungsi semiotika serta makna dari setiap kata dan simbol, kesalahan tersebut menjadi fatal. Karena akan berdampak kepada filosofi, sistem ketatanegaraan dan kehidupan sosiologis kita.
Rekonstruksi sejarah menjadi penting dilakukan, agar kita tidak hanya merdeka secara ontologis, namun juga secara epistemologis. Tanpa rekonstruksi, Bangsa Indonesia akan terus merayakan penggelapan sejarah. Kita berharap kesalahan semacam ini segera dikoreksi agar proses epistemologis bangsa Indonesia bertumbuh ke arah yang benar. Optimisme harus terus kita pupuk secara kritis, pernyataan “kita sudah 76 tahun merdeka” harus kita revisi menjadi “kita baru 76 tahun merdeka”, sebuah pernyataan yang lebih energik dan optimistik. Semoga semangat proklamasi senantiasa membara dan mengasapi jiwa dan pikiran kita, dalam upaya menjaga kesinambungan kehidupan tanah air dan Bangsa Indonesia. 76 tahun adalah usia yang tua bagi manusia, namun masih belia bagi sebuah peradaban.
Merdeka!