Om Let meneruskan, bahwa di tahun 1991, ia pernah mengajukan proposal melalui pameran karang taruna yang pada saat itu diselenggarakan oleh Dinas Sosial Kab. Halmahera Tengah. Kemudian di tahun 2006, ia juga pernah mengajukan proposal bantuan melalui Dinas Perindagkop, namun tidak juga menemukan titik terang.
“Waktu pameran karang taruna 1991 itu saya kase masuk saya pe proposal itu, ternyata kalao kadara dia deng doi deng kawan-kawan so trada samua, tahun 2006, di Perindustrian bikin proposal lagi, dorang bilang 95 juta, tapi dia (dana) kaluar dorang kase dong pe orang di Payahe dara,” ungkapnya.
Menurutnya, selama ini pemerintah belum benar-benar memperhatikan warganya dan justru seringkali malah menyulitkan, khususnya kepada para pelapak di pasar.
“Jadi bagi saya, selama pemerintah tra pernah kase istimewa masyarakat ini, kase susah justru. Ngoni bongkar tong pe tampa, tong biking disana ngoni bilang jang bikin disini tapi disitu. Setelah tong bikin, ngoni bongkar lagi,” papar Om Let.
Mengenai mekanisme pembayaran, Om Let menjelaskan, bahwa dahulu pembayaran dilakukan setelah selesai pekerjaan. Namun karena khawatir terjadi penumpukan, akibat banyaknya pekerjaan dan untuk menghindari orderan yang lupa diambil oleh konsumen. Ia pun merubah model transaksinya, yaitu dengan bayar di muka.
“Tong manjai baru-baru itu 6 tas ada 60 pasang, jadi sekarang tong pe aturan bayar dulu baru manjai, kalo bolom bayar tong bolom manjai,” jelasnya.
Adapun mengenai lapak usahanya yang kurang lebih berukuran 2 x 1,5 meter tersebut. Om let mengaku dikenakan biaya retribusi dari pemerintah sebesar Rp. 35.000 perbulan. Terdiri atas sewa lapak Rp. 25.000 dan iuran sampah Rp.10.000.
“Lokasi (lapak) ini 35.000 satu bulan, yang sadiki ini 2 meter ini 25.000, nanti sampah disana bayar 10.000,” ungkapnya.
Sehari-hari, selama kurang lebih 46 tahun, Om Let mengerjakan sendiri orderan yang masuk. Terkadang ia dibantu oleh anaknya, jika orderan yang datang lumayan banyak. Bila dihitung, mungkin sudah ribuan pasang sepatu pernah dikerjakannya.
Selain reparasi sepatu, Om Let juga bercerita seringkali menerima order dengan bayaran yang cukup fantastis. Misalnya orderan membuat ayunan, karet kanvas roda gila, karet mesin pres batu bata, hingga karet untuk mesin kapal motor fiber dan masih banyak orderan lainnya.
Nasehat sang ayah nampaknya merupakan petuah yang terus Om Let pegang dalam hidupnya, bahwa profesi yang digelutinya kini, ibarat berkebun di dalam kota. Ia menuturkan, selama ini ia tidak pernah merasa susah, sebab apa yang dicapai dan yang kini dimiliki, baginya sudah sempurna.
“Kalo bagi saya, saya tra pernah rasa susah. Saya pe sebe pernah bilang, berkebun didalam kota itu seperti ini. Katong mancari bakuda di kabong dara, ini so tra bakuda lagi. Tinggal kamari orang kasih ya tong manjai. Jadi saya rasa saya tra susah, mo susah bagaimana tong pe diri ini so lengkap, kaki deng tangan sempurna,” tuturnya.
Om Let mengaku sudah tidak banyak berharap pada bantuan pemerintah. Namun jika pemerintah mau memberikan bantuan kepadanya atau kepada yang lain secara cuma-cuma, tanpa menuntut imbalan tertentu, maka ia dengan senang hati akan menerimanya.