“Di Patani ini ada mata pencaharian di sektor pertanian yang bisa didorong pemerintah untuk dioptimalkan. Di Patani ada sumber pangan dan komoditas seperti pala, kelapa, cengkeh. Sementara ada anugerah lain dari alam, bahwa di Patani ini ada sumber pangan lain yakni laor (hewan yang muncul di pesisir Pantai di karang-karang) satu tahun sekali untuk dikonsumsi. Kami minta pemerintah jangan saja fokus pada sektor tambang, tapi juga diseimbangi dengan memperhatikan keberlangsungan sektor pertanian warga,” kata Ijan.
Menjelang Hari Anti Tambang 29 Mei nanti, penting untuk mengingat bahaya dari pertambangan mineral kritis yang serampangan dan tidak bertanggungjawab. FOSHAL, Trend Asia, dan YLBHI mendesak pemerintah untuk mengembalikan wilayah dan memulihkan semua sumber kehidupan warga yang dirampas atas nama kepentingan hilirisasi industri nikel.
Pemerintah juga harus bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan, dampak kesehatan, dan hilangnya sumber penghidupan warga. Pemerintah harus mengendalikan praktik industri serampangan yang berujung pada kecelakaan kerja, serta menghentikan praktik represi dan kriminalisasi yang kerap digunakan kepada warga yang melawan.
Laporan ini juga didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Ternate, Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) Maluku Utara, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Khairun Ternate, Perkumpulan Fajaru Maluku Utara, Perkumpulan Fakawele, Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) Maluku Utara, Pilas Institut.
Zainal Arifin, Manager Kampanye YLBHI mengatakan label yang disematkan pemerintah yaitu Proyek Strategis Nasional (PSN) telah memberi karpet merah untuk korporasi melakukan kerusakan.
“Cara pemerintahan menggunakan label PSN (Proyek Strategis Nasional) menunjukkan tendensi otoritarianisme yang kuat. Ia memberi karpet merah untuk korporasi melakukan perusakan demi kepentingan ekonomi, sementara warga yang merasa dirugikan dicap ‘tidak nasionalis’ karena menghalangi kepentingan negara. Ini menunjukkan pola pikir Orde Baru dan demokrasi yang rusak. Untuk pengelolaan sumber daya alam yang benar-benar demokratis, kita harus melindungi hak warga untuk menolak,” ungkap Zainal Arifin.
Sementara itu, Juru Kampanye Energi Trend Asia, Novita Indri, menyampaikan bahwa negara harus mendorong transisi energi berkeadilan.
“Indonesia perlu menyeimbangkan kebutuhan atas pertumbuhan ekonomi, perlindungan lingkungan, dan pelibatan masyarakat. Karena itu negara harus mendorong transisi energi berkeadilan. Hilirisasi nikel yang serampangan hanya akan memindahkan masalah: konon Jakarta dibayangkan akan lebih bersih, namun tempat seperti Maluku dihancurkan. Selain itu, jika dihitung secara total dampak kerusakan lingkungan dalam jangka panjang justru akan menimbulkan kerugian ekonomi yang lebih besar,” terangnya.
Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Forum Studi Halmahera (FOSHAL), Julfikar Sangaji menjelaskan, narasi kemakmuran yang digaungkan pemerintah melalui hilirisasi adalah salah dan mematikan, karena harus dibayar dengan kelestarian alam, kekayaan sumber kehidupan dan kesehatan warga.