Oleh:
Oely Alfatani (anggota komunitas djoung cafe)
Waktu itu, atas permintaan teman-teman, yang paling ngotot saudara Mirwan Hamisi, (Mantan Ketua Pemuda Muhammadiyah Tidore), saya dipercaya untuk memberi nama sebuah kafe yang akan dibangun bersama secara swadaya. Dengan satu pertimbangan bahwa kafe berada tepat di depan gedung KNPI (Gedung Pemuda) dan setelah dibangun dengan susah payah, dengan bahan seadanya, saya lalu memberi nama “d’Joung Cafe”, tapi saya menyebutnya “kafe Nyong” sebutan untuk kafe para pemuda. “Nyong” adalah salah satu kosakata yang diadaptasi dari bahasa Belanda “Jong” (dan Inggris ; Young) merupakan lingua franca Maluku-Maluku Utara.
Kafe yang berbatasan dengan Kantor Pertanahan ini dibangun di atas “tanah merdeka”, didesain dengan “kegelisahan intelektual”, konstruksi arsitekturnya memakai langgam “budaya kritis”. Jangan berharap ada nona-nona ladys di dalamnya seperti kafe-kafe glamour umumnya, yang ada kebanyakan “nyong-nyong” rasa nano-nano, dan satu dua orang tua yang berjiwa muda. Tapi anda bisa betah berlama-lama di kafe ini meski menu yang disuguhkan rasanya membosankan; “secangkir gagasan rasa oposisi”, “semangkuk teori rasa tio’oly”, “sepiring informasi rasa rumor”, dan “aneka wacana sejarah-ekonomi-sosial-politik-budaya-agama bercitarasa makarana”. Tentunya tidak semua lambung bisa mencerna menu-menu di atas, itu sebabnya kita hanya bisa menikmatinya dengan sikap kritis.
Kritik atau kritisisme adalah tradisi kaum pemuda sejak Soekarno, Samaun, Tan Malaka dan Kartosowiryo, berjumpa di rumah ideologis H.O.S. Cokroaminoto di suatu masa yang bergejolak, berlanjut pada konsolidasi politik pemuda pada 28 Oktober1928, lalu mencapai titik kulminasi pada peristiwa Rengasdengklok, tradisi ini masih dipertahankan sampai zaman reformasi 1998. Sebagai kritik. D’Joung Cafe hanya membantu mengontrol kebijakan politik lokal dengan caranya yang khas warung kopi, tidak ada fungsi regulasi, apalagi budgeting, tapi bisa dianggap sebagai DPRD tingkat III, dia sejenis parlemen “pinggir jalan”.
Sikap kritis dalam kategorisasi Jurgen Habermars (seorang filsuf Jerman kontemporer pentolan mazhab Frankfurt dengan teori kritik masyarakat) adalah sikap yang berangkat dari pengetahuan kritis (critical knowledges) seperti ekonomi-politik-sosiologi (ilmu sosial) yang berkepentingan emansipatoris/liberatif (pembebasan) bersifat kritis tranformatif, pengetahuan ini berbeda dengan pengetahuan hermeneutik (hermeneutical knowledges) seperti filsafat-sastra-sejarah (ilmu humaniora) yang berkepentingan menafsir/memahami realitas bersifat deskriptis kontemplatif, berbeda pula dengan dengan pengetahuan positivis (positivistic knowledges) seperti fisika-matematika-kimia-biologi (ilmu alam) yang berkepetingan teknis instrumentalis bersifat analisis. Yang pertama terkesan anti kemapanan, sedangkan yang kedua dan ketiga cenderung pro status quo. Maka sebagai kritik, komunitas d’Joung Cafe adalah bagian yang turut mempengaruhi sehat tidaknya system demokratis.
Dalam perkembangannya meski d’Joung Cafe sempat diapresiasi oleh beberapa kalangan, sebut saja DR. Saiful Bahri Rurai (ko Ipoel) dan alm. Prof. Kornelis Ley (guru besar UGM), namun hemat saya d’Joung Cafee perlu menerima kritik dari luar sekaligus melakukan otokritik, bahwa sebagai ruang publik, terdiri dari banyak subjek dengan latar belakang yang berbeda yang itu berarti banyak ide maka hal-hal yang terindikasi monopoli kebenaran, dominasi wacana, hegemoni kepentingan, legitimasi ideologi, justifikasi hukum, menjadi aneh dalam pluralitas ide, pengetahuan, dan pemikiran.