DPD ‘bukan’ Dewan Perwakilan Daerah

Oleh:

Muhammad Fazry, S.H.,M.H (Wakil Sekertaris ICMI Tidore)

Tulisan ini akan dimulai dengan suatu pertanyaan teoritis, kenapa orang berbondong-bondong ingin menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah? Apakah karena posisi atau karena kursi, jika karena posisi maka terdapat kecenderungan sebagai suatu instrumen guna terakomodirnya daulat hidup rakyat di daerah, sebaliknya jika karena kursi maka preferensinya hanya sebatas jabatan belaka serta cenderung materialistik. Bagaimana jika para pencalon tersebut tahu bahwa DPD tidak memiliki strategic position, sebagai representasi atas kepastian daulat hidup rakyat di daerah? Maka suda barang tentu semestinya ia memilih kanal representasi yang berbeda yang lebih efektif sebagai jalur perjuangan, namun bagaimana jika para pencalon tersebut tidak tau bahwa DPD tidak memiliki strategic position, sebagai representasi atas kepastian daulat hidup rakyat di daerah? Maka jawabnya secara teoritis, ia tidak memiliki kepantasan  untuk mencalonkan diri, bagaimana pula jika para incumbent DPD yang kembali mencalonkan diri padahal ia tahu kewenangannya dibatasi oleh undang-undang sehingga ia terbatas di dalam mengagregasi aspirasi rakyat di daerah? Terkhusus mereka ini, jawabnya penulis serahkan kembali kepada para pembaca untuk memberikan stempel kepada para peternak suara di daerah ini, namun berkantor di senayan.  Apakah yang dimaksud dengan kewenangan DPD yang dibatasi oleh undang-undang ini? Ijinkan penulis untuk mengurainya.

Sistem kamar (baik unikameral maupun bikameral) dalam lembaga perwakilan rakyat efektivitasnya ditentukan oleh perimbangan kewenangan antar kamar dalam pelaksanaan fungsi parlemen seperti fungsi legislasi, anggaran, kontrol, representasi, dan rekrutmen politik. Dari semua fungsi tersebut, perimbangan dalam fungsi legislasi menjadi faktor utama dalam mekanisme lembaga perwakilan rakyat. Bagaimanapun, dengan perimbangan itu, terutama dalam sistem dua kamar, dimaksudkan untuk melaksanakan mekanisme checks and balances antar kamar di lembaga perwakilan rakyat.

BACA JUGA   Transformasi BRI: Bermakna untuk Masyarakat Indonesia di Era Digital

Dalam pandangan Jimly Asshiddiqie, yang tercatat sebagai anggota DPD aktif, mengusulkan sebaiknya DPD dibubarkan saja, karena semestinya dengan adanya dua majelis di suatu negara dapat menguntungkan karena dapat menjamin semua produk legislatif dan tindakan-tindakan pengawasan dapat diperiksa dua kali (double check), Keunggulan sistem double check ini semakin terasa apabila Majelis Tinggi yang memeriksa dan merevisi suatu rancangan itu memiliki keanggotaan yang komposisinya berbeda dari Majelis Rendah. Bahkan, menurut Soewoto Mulyosudarmo, sistem bikameral bukan hanya merujuk adanya dua dewan dalam suatu negara, tetapi dilihat pula dari proses pembuatan undang-undang yang  melalui dua dewan atau kamar, yaitu melalui Majelis Tinggi dan Majelis Rendah. Bahkan, dari segi produktivitas, kemungkinan sistem dua kamar (yang efektif) akan lebih produktif karena segala tugas dan wewenang dapat dilakukan oleh kedua kamar tanpa menunggu atau tergantung pada salah satu kamar saja, namun faktanya yang terjadi di indonesia sebalinya DPD tidak bisa berbuat banyak karena kewenangannya diamputasi.