Kongres Amerika Serikat, misalnya, DPR dan Senat punya kesempatan untuk mengecek semua rancangan undang-undang sebelum disampaikan kepada presiden dengan demikian, dalam fungsi legislasi, Senat punya kewenangan yang relatif seimbang dengan DPR. Tidak hanya di Amerika Serikat, dalam praktik sistem dua kamar Inggris, House of Lord punya peran yang relatif berimbang dengan House of Commons. Hal ini dapat dibaca dalam “The Work of the House of Lords: Its Roles, Functions, and Powers” yang menyatakan:
“Sebagai majelis kedua, House of Lords memainkan peran penting dalam merevisi undang-undang dan mengawasi pemerintah dengan mengawasi aktivitasnya. Dalam legislasi, fungsi House of Lords mirip dengan House of Commons yaitu berdebat dan mempertanyakan eksekutif. Semua RUU melewati kamar kedua DPR sebelum menjadi Undang-undang. Amandemen harus disetujui oleh kamar kedua DPR. House of Lords sama aktifnya dengan DPR dalam mengamandemen RUU, dan menghabiskan dua pertiga waktunya untuk merevisi undang-undang.”
Di Indonesia, hubungan antar kamar dalam lembaga perwakilan rakyat tidak mungkin menciptakan dua kamar yang efektif. Pasal 20A Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan pengawasan. Karena fungsi tersebut tidak diberikan kepada DPR, Pasal 20A Ayat (1) UUD 1945 tetap memunculkan superioritas fungsi legislasi DPR terhadap DPD.
Karenanya, banyak pendapat mengatakan kehadiran Pasal 20A Ayat (1) memberi garis demarkasi yang sangat tegas bahwa kekuasaan membuat undang-undang hanya menjadi monopoli DPR. Padahal, dalam Lembaga perwakilan rakyat bikameral, kalau tidak berhak mengajukan rancangan undang-undang, Majelis Tinggi berhak untuk mengubah, mempertimbangkan, atau menolak (veto) rancangan undang-undang dari Majelis rendah. Sekiranya hak itu juga tidak ada, Majelis Tinggi diberi hak menunda pengesahan undang-undang yang disetujui Majelis Rendah. Hak menunda pengesahan sering menjadi satu-satunya kekuatan jika Majelis Tinggi jika tidak mempunyai hak mengubah dan menolak rancangan undang-undang.
Pasca-amandemen UUD 1945 terjadi perubahan mekanisme proses pembentukan undang-undang. Secara formal, rancangan undang-undang dapat disampaikan oleh presiden, DPR, dan DPD. Pembahasan rancangan undang-undang terdiri dari dua tingkat pembicaraan. Pembahasan tingkat pertama diadakan dalam rapat komisi, rapat badan legislasi ataupun Pansus. Sedangkan pembahasan tingkat dua diadakan dalam Sidang Paripurna DPR untuk menyetujui RUU tersebut. Dalam kaitannya dengan posisi DPD, menurut ketentuan Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 hasil Perubahan Pertama oleh MPR tahun 1999, DPR adalah lembaga yang berwenang membentuk undang-undang, sedangkan DPD sebagaimana ditentukan pengaturannya dalam Bab VIIA UUD 1945 hasil Perubahan Ketiga tahun 2001 hanya memiliki kewenangan terbatas untuk memberikan pertimbangan mengajukan usul saran kepada DPR, dan mengawasi pelaksanaan UU tertentu.
Peran sebagai ko-pembahas dilakukan oleh DPD dalam sidang DPR bersama pemerintah yang didahului oleh pembahasan dalam sidang DPD sendiri. Seperti ditegaskan dalam Pasal 20 Ayat (2), “setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk”. Artinya, DPR dan Presiden bersama-sama membahas RUU untuk disahkan menjadi undang-undang. Sedangkan DPD, dalam Pasal 22D Ayat (2) UUD 1945 ditegaskan: “Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah” Melihat pasal-pasal dalam UUD 1945 yang mengatur DPD, lembaga ini tidak memiliki wewenang membentuk undang-undang bersama-sama DPR dan Presiden. Wewenang DPD terbatas dan sempit, karena DPD hanya untuk memberi pertimbangan. Seolah-olah DPD hanya berposisi sebagai Dewan Pertimbangan DPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. UUD 1945 secara eksplisit telah memangkas penggunaan fungsi legislasi oleh DPD. Pasal 20 ayat (1) dan 20 A ayat (1) menentukan bahwa kekuasaan membuat undang-undang (legislasi) hanya dimiliki oleh DPR.