DPD ‘bukan’ Dewan Perwakilan Daerah

DPD hanya ikut membahas RUU tertentu yang berkaitan dengan otonomi daerah dan dapat memberi pertimbangan kepada DPR saat DPR melaksanakan kewenangannya. Dari ketentuan tersebut jelas terlihat bahwa sistem bikameral yang dituangkan dalam UUD 1945 hasil amandemen tidak sesuai dengan prinsip bikameral yang umum dalam teori-teori ketatanegaraan, yaitu fungsi parlemen yang dijalankan oleh dua kamar secara berimbang (balance) dalam proses legislasi maupun pengawasan.

Dengan demikian, DPD berfungsi sebagai “ko-pembahas” yang dalam hal ini tentulah dimaksud “ikut membahas” rancangan undang-undang dalam sidang DPR di mana rancangan yang bersangkutan dibahas bersama oleh DPR dan Presiden. Artinya, dalam pelaksanaan fungsi legislasi, DPD tidak bisa sampai tahap persetujuan rancangan undang-undang. Selain itu, dalam bidang legislasi, DPD juga berfungsi sebagai pemberi pertimbangan atas perancangan dan pembahasan RUU di bidang-bidang tertentu dan di bidang pengawasan, yaitu mengawasi pelaksanaan UU di bidang-bidang yang terkait dengan kepentingan daerah. Mencermati pengaturan dalam UUD 1945 dan pelaksanaan kewenangan DPD RI, Stephen Sherlock memberikan penilaian cukup menarik bahwa:

“Oleh karena itu, DPD merupakan contoh yang tidak biasa dari kamar kedua karena mewakili kombinasi yang aneh antara kekuasaan yang terbatas dan legitimasi yang tinggi. Perannya dalam pembuatan undang-undang terbatas pada bidang kebijakan tertentu, kekuasaannya hanya bersifat memberikan nasihat dan tidak ada RUU yang benar-benar perlu disahkan agar dapat disahkan, namun pada saat yang sama ia mempunyai legitimasi yang kuat karena dipilih secara penuh. Kombinasi ini tampaknya tidak dapat ditiru di tempat lain di dunia”.

Berdasarkan penjelasan di atas, guna membangun prinsip checks and balances dalam lembaga perwakilan rakyat Indonesia harus ada perubahan radikal terhadap fungsi legislasi, yaitu dengan tidak lagi membatasi DPD seperti saat ini. Kalau ini dilakukan, gagasan menciptakan sistem dua kamar di lembaga perwakilan rakyat guna mengakomodasi kepentingan daerah dalam menciptakan keadilan distribusi kekuasaan menjadi dapat diwujudkan.

BACA JUGA   Metaverse, Siapkah Kita?

Bagaimanapun, dengan pola legislasi sekarang, DPD tidak mungkin mampu mengartikulasikan kepentingan politik daerah pada setiap proses pembuatan keputusan di tingkat nasional, terutama dalam membuat undang-undang yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah. dikaitkan dengan sistem pemerintahan presidensial, penataan fungsi legislasi amat diperlukan karena presiden begitu dominan dalam proses legislasi.

Dari hasil telaah sejumlah konstitusi (baik dengan sistem pemerintahan presidensial dan pemerintahan parlementer, maupun dengan sistem satu kamar dan sistem dua kamar di negara kesatuan maupun federal) membuktikan bahwa presiden masih dapat mengajukan rancangan undang-undang, namun keikusertaan presiden dalam pembahasan rancangan undang dengan lembaga perwakilan rakyat (parlemen) tidak seperti di Indonesia. Pada semua negara, persetujuan menjadi hak ekskulsif lembaga perwakilan rakyat (lembaga legislatif). Bahkan di Mauritinia, meski inisiasi dapat berasal dari pemerintah dan parlemen, pembahasan (perdebatan) rancangan undang-undang dilakukan oleh pemerintah (Council of Ministers), namun pesetujuan tetap menjadi hak ekslusif parlemen.