DPD ‘bukan’ Dewan Perwakilan Daerah

Sama halnya dengan fungsi legislasi dan fungsi pengawasan, dalam fungsi pengawasan pun DPD mempunyai kewenangan yang sangat terbatas. Pasal 22D Ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai: (a) otonomi daerah, (b) hubungan pusat dan daerah, (c) pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, (d) pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, (e) pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, (f) pajak, (g) pendidikan, dan (h) agama. Kemudian, hasil itu disampaikan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

Dari ketentuan itu, fungsi pengawasan DPD seolah-olah menjadi subordinat (fungsi pengawasan) DPR, dalam Bahasa kasarnya DPD tak ubahnya seperti pengawas proyek yang memberikan informasi terkait kinerja kuli kepada pemilik proyek untuk dipertimbangkan pabila dianggap perlu. Oleh karenanya, untuk membangun bikameral yang efektif, fungsi pengawasan DPD yang strong menjadi sebuah keniscayaan.

Dalam hal fungsi representasi, Pasal 22C Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum. Kemudian, dalam Pasal 22C Ayat (2) ditegaskan lagi, anggota DPD dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota DPD tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR. Dari ketentuan itu, tidak bisa dinafikan bahwa DPD merupakan representasi daerah.

Karena DPR lebih merupakan representasi partai politik, representasi daerah relatif lebih tepat untuk mengimbangi partai politik di lembaga perwakilan rakyat. Meskipun demikian, idealnya dikembangkan juga upaya untuk memikirkan bahwa DPD tidak hanya menjadi representasi daerah tetapi juga mampu merepsentasikan kelompok-kelompok marjinal dan minoritas.

Sekalipun DPD merupakan perpanjangan dari representasi daerah, dalam fungsi rekrutmen atau pengisian jabatan publik DPR jauh lebih superior. Misalnya, peran DPR begitu besar dalam pengangkatan Hakim Agung serta pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial. Di samping itu, beberapa agenda kenegaraan juga mensyaratkan “pertimbangan” DPR, seperti: pengangkatan duta dan menerima penempatan duta negara lain.

BACA JUGA   Erwin-Zulkifli Junjung Demokrasi & Good Governance

Fungsi rekrutmen jabatan publik DPR bertambah besar dengan adanya kewenangan untuk mengisi beberapa jabatan strategis kenegaraan, seperti memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan, menentukan tiga dari sembilan orang hakim konstitusi, dan menjadi institusi yang paling menentukan dalam proses pengisian state auxiliary bodies lainnya, seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Bawaslu dan Komisi Pemilihan Umum. Tidak hanya itu, masih ada keharusan untuk meminta pertimbangan DPR dalam pengisian jabatan Panglima TNI, Kapolri, dan lain-lain. Dengan gambaran tersebut, dalam hal fungsi rekrutmen jabatan publik, DPD tidak kalah memprihatinkan jika dibandingkan dengan fungsi legislasi, fungsi kontrol, dan fungsi anggaran di atas.

Oleh karenanya, DPD seharusnya dilibatkan dalam proses rekrutmen jabatan publik. Pelibatan itu menjadi sebuah keniscayaan karena rekrutmen jabatan publik yang hanya dilakukan oleh DPR amat mungkin bias kepentingan politik partai politik. Artinya, jika DPD diberi ruang yang cukup dalam proses rekrutmen jabatan publik, maka kepentingan politik partai di DPR bisa diimbangi oleh DPD.