Bahkan, negera super Demokrasi seperti Amerika Serikat pun terpapar politik identitas. Ketika Donald Trump berbicara tentang isu Imigran pada saat masa kampanye Pilpres Amerika Serikat pada 2016 lalu dengan misi American First: Make America Great Again dan terpilih sebagai presiden Amerika ke-45.
Sadar atas hal tersebut, Francis Fukuyama dalam bukunya Identity telah menguraikan secara lugas bahwa demokrasi telah terpapar Politik Identitas dan tidak bisa dihindari. Politik Identitas telah digunakan sebagai isu politik dan terjadi di banyak negara di dunia.
Bahkan dalam bukunya tersebut, Fukuyama seakan meragukan tesisnya yang ia tulis sebelumnya dalam The End Of History And The Last Man. Bahwa Demokrasi adalah satu-satunya sistem politik terbaik yang diadopsi oleh banyak negara di dunia pasca runtuhnya sistem sosialis otoritarian yang ditandai jatuhnya Adolf Hitler di Uni Soviet.
Fukuyama berpandangan, sistem Demokrasi yang dianggap paling ideal, ternyata tidak bisa menjawab tantangan hadirnya Politik Identitas yang mengemuka akhir-akhir ini di banyak Negara.
Lantas atas dasar apa, Dr.Margarito melarang orang berpikir atas kesadaran Identitasnya dalam menentukan pilihan politiknya. Saya setuju, bahwa kita tidak boleh menggunakan Indentitas sebagai dasar permusuhan atau menggunakan identitas untuk menyerang kelompok lain. Tapi, melarang orang menggunakan Identitas sebagai preferensi politiknya adalah sesuatu yang keliru.
Saya tidak tahu, apa yang menjadi dasar seorang Dr. Margarito melarang orang berbicara Politik Identitas. Apakah ia sedang menuduh Husain Alting Syah, salah satu Calon Gubernur yang hadir pada dialog malam itu sebagai orang yang menggunakan Politik Identitas..? Atau kah Margarito sedang menyampaikan pesan dari salah satu calon Gubernur Maluku Utara yang terganggu Isu Politik Identitas yang mulai muncul menjelang kampanye Calon Gubernur Maluku Utara. Entahlah, hanya Margarito yang tahu.
Yang jelas, Narasi yang disampaikan oleh Dr. Margarito pada malam itu, persis dengan narasi yang disampaikan oleh salah satu Cagub yang berbicara dihadapan pendukungnya. Bahwa, Maluku Utara butuh Kapasitas bukan Identitas. Narasi tersebut juga sering kita dengar dari pendukung kandidat Cagub tertentu pada diskusi ringan di warung-warung Kopi.
Kita berharap, Dr. Margarito tidak sedang mewakili Cagub tertentu atau tidak sedang menjadi Tim Kampanye Cagub tertentu. Kita yakin, bahwa Dr. Margarito pasti sadar akan akar sosiologi kulturalnya. Ia pasti sadar, bahwa Maluku Utara adalah Negeri para Raja, Negeri yang memiliki akar kultur dan budaya yang kuat, masyarakat yang menjunjung tinggi adat se atoran. Ketika mereka mengasosiasikan diri mereka dalam pilihan politiknya, maka itu merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa dibatasi.
Semoga Dr. Margarito kembali pulang, pulang kepada akar kulturalnya. Pulang pada jati dirinya, pulang pada Identitasnya.
Identitasnya sebagai orang Maluku Utara yang memiliki nilai luhur yang berpijak pada adat se atoran. Saya yakin, bahwa seorang Margarito adalah generasi yang mampu mendefinisikan dirinya, bahwa siapa dia sebenarnya. Semoga.