Dugaan penyalahgunaan anggaran bantuan sosial atas beasiswa akhir studi yang menggunakan APBD, juga terjadi dalam hal data ganda sebagai penerima. Seperti nama Janes Kamelia Budo yang namanya terdapat dalam dua Keputusan Bupati dengan tahun anggaran yang berbeda yakni Keputusan Nomor 22.B/KPTS/I/2022 dan 37/KPTS/I/2023.
Di keputusan bupati tahun 2022, Janes Kamelia Budo dicatat menerima dana bansos akhir studi sebesar Rp 5.000.000, sedangkan pada keputusan bupati tahun 2023, Janes dicatat sebagai penerima dana bansos akhir studi sebesar Rp. 10.000.000. Hal yang sama pula terjadi pada beberapa anak kepala dinas di Kabupaten Halamahera Barat.
Selain tidak sesuai dengan Permendagri Nomor 77 Tahun 2020, Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah, dan Peraturan Bupati Halmahera Barat Nomor 2.A Tahun 2019 Tentang Tata Cara Penganggaran Pelaksanaan dan Penatausahaan Pertanggungjawaban dan Pelaporan serta Monitoring dan Evaluasi Hibah dan Bantuan Sosial yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, hal tersebut mengakibatkan realisasi bantuan sosial tidak tepat sasaran, realisasi bantuan sosisal bersesiko disalahgunakan, serta membebani keuangan daerah.
Dalam konteks ini ada ketidaksesuaian antara realisasi dana bansos dengan pernyataan Kepala BKAD beberapa bulan lalu. Pasalnya jika penerima bantuan sosial sebanyak 105 orang dan yang terealisasi hanya 33 orang denagan alasan tidak memenuhi kriteria, lantas 77 nama sebagai penerima dalam Keputusan Bupati tersebut anggarannya dikemanakan?
Berdasarkan data Portal APBD Kementerian Keuangan Republik Indonesia https://djpk.kemenkeu.go.id/, pada Tahun 2022 angaran belanja Bantuan Sosial untuk Kabupaten Halmahera Barat sebesar 5,27 M dan sudah ter-realisasi sebsar 4,01 M atau 76,04%, itu artinya anggaran yang tersisa masih 1,26 M, sementara total keseluruhan angaran dalam Keputusan Bupati Halmahera Barat Nomor 22.B/KPTS/I/2022 hanya sebesar Rp 585.000.000.
Dari beberapa fakta lapangan yang dihimpun, penulis berpendapat ada begitu banyak ketimpangan, terkait realisasi anggaran yang tidak tepat sasaran dan tidak sesuai fakta lapangan, meskipun BPK Perwakilan Provinsi Maluku Utara melalui pemeriksaan atas Laporan Keuangan pada 11 Entitas se-Maluku Utara di Tahun 2022, Kabupaten Halmahera Barat dalam Opini LKPD dinyatakan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
Namun, yang perlu diketahui publik bahwa WTP bukan merupakan syarat bahwa entitasi yang diperiksa bebas dari korupsi, lebih dari itu LHP BPKdapat menjadi dasar penyelidiakan tindak pidana korupsi jika ditemukan indikasi penyimpangan pengelolaan keuangan, baik APBN maupun APBD.
Seharusnya Aparat Penegak Hukum (APH) baik Kejari Halmahera Barat maupun Kejati Maluku Utara dan juga pihak kepolisian sudah mengambil langkah tegas terkait fakta-fakta ini, agar tidak ada opini liar yang selalu menyudutkan pihak-pihak terkait.
Terkesan kekuasaan penuh di Kabupaten Halamahera Barat ini ada di tangan bupati. Kondisi ini selain melangar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB), juga tidak sesuai dengan konsep Trias Politica.