Kasus lainnya ketika PSIS menjamu PSS. Suporter ricuh saat pertandingan memasuki injury time. PSIS unggul dengan skor 1-0. Yoyok Sukawi, pemilik klub PSIS, terkena lemparan benda keras dan mendapatkan delapan jahitan. Kekacauan yang terjadi pada 2 Desember di kandang Mahesa Jenar ini memaksakan Polresta Semarang memeriksa sebanyak 13 orang.

Masih ingatkah dengan Tragedi Kanjuruhan? Hery Prasetyo (2025) dalam catatannya ia menulis, “Tragedi Kanjuruhan bukan hanya menjadi duka bagi sepak bola Indonesia, tetapi juga potret nyata budaya impunitas masih mengakar. Keadilan bagi korban terasa jauh. Hukuman ringan bagi para pelaku hanya mempertegas bahwa nyawa masyarakat tidak lebih dari angka.”

Peristiwa ini merupakan kekejaman negara terhadap rakyat, tetapi justru membentuk soliditas diantara sesama suporter yang sebelumnya saling membenci, saling menyerang. Hasilnya, tuntutan keadilan bergelegar dari segala penjuru; Bandung, Jakarta, Surabaya sampai dengan Makassar. Katakata yang keluar dari corong dalam gerakan tersebut adalah hukum yang adil. Pastinya semangat itu berangkat dari ketimpangan yang diciptakan oleh sistem kekuasaan. Disini, sebuah ketegasan menjadi lebih jelas bahwa suporter tidak hanya menonton sepak bola, tetapi dapat mengubah dirinya sebagai kekuatan sosial. Spanduk-spanduk protes seperti perampasan lahan di Taman Sari, Dago Elos, Pakel, Kulon Progo, Bara-baraya Makassar dan lain sebagainya sering dibentangkan. Isu sosial lain pun banyak diangkat di bangku tribun.

Bagaimana dengan GOT?

Kericuhan suporter juga sering menghiasi jalannya penyelenggaraan Gurabati Open Tournament (GOT), sebuah even sepak bola yang dimotori oleh Ikatan Pemuda Pelajar Gurabati (IPPG). Dimulai sejak 1989, GOT kini berusia 36 tahun dan sudah 27 kali bergulir. Tahun 2025 ini, tim yang berlaga tidak hanya dari Kota Tidore Kepulauan sebagaimana GOT yang lalu-lalu. Kota Ternate, Halmahera Tengah, Halmahera Utara, Halmahera Selatan dan ada juga utusan dari tanah Papua, Abstrak Jayapura yang dikomandoi mantan striker Tim Nasional Indonesia, Boaz Salosa.

BACA JUGA   Kukuhkan Relawan Canga Muda, Sultan Tidore Optimis HAS MALUT Menangkan Pilgub

Ketika laga Perstug melawan Maldini FC dan Pusam kontra Persiga, kericuhan tak terhindarkan. Hal ini menambah panjang daftar kekacauan yang terjadi dalam sejarah sepak bola di negeri ini. Sportifitas sepakbola seolah dicederai, tentu saja bukan tanpa alasan. Memang, kelalaian melekat pada semua pihak secara kolektif dan diperlukan langkah-langkah evaluatif kedepannya.

Bagi saya, GOT sudah seharusnya menjadi instrumen dan lokomotif gerakan-gerakan sosial dan kemanusiaan. Kekuataan itu juga ada di GOT. Kita melihat adanya perjumpaan gagasan dan sosio-kultural. Suporter dan penonton yang berkumpul dan menyaksikan tim mereka, bahkan individu-individu yang mereka idolakan, eksplisit menguatkan hubungan satu sama lain dalam konteks sosial.

Komunitas-komunitas sosial yang terorganisir tanpa afiliasi, bergerak dan bersorak-sorai ke stadion sebenarnya menjadi basis kekuatan sosial yang kuat. Dari sini akan timbul kesadaran kolektif jika terdapat isu-isu yang mengandung unsur ketidakberpihakan kepada masyarakat. Misalnya di Argentina. Ketika negara tempat kelahiran Lionel Messi itu mengalami bencana ekonomi, inflasi parah, ada kelompok suporter, Barra Bravas, yang turun ke jalan untuk menolak kebijakan efisiensi yang hanya menguntungkan pemilik modal dan kelompok elit. Presiden Javier Milei dianggap bertanggung jawab atas inflasi parah yang dialami negara tersebut.Salah satu isu adalah kebijakan terkait para pensiunan yang sudah berumur lanjut.