Barra Bravas adalah tempat dipertemukannya kelompok-kelompok suporter fanatik dari berbagai klub. Mereka melancarkan protes, melawan rezim kekuasaan yang represif terhadap rakyat. Menurut mereka, negara mengeluarkan kebijakan dan rakyat dikorbankan, adalah waktu dimana seluruh sumber daya sosial bergerak. Stadion tidak sekedar tempat bermain dan menonton olahraga paling populer sedunia, namun berubah menjadi ruang sosial. Stadion bertransformasi menjadi tempat membangun solidaritas dan mempertahankan ingatan kolektif atas ketidakadilan, dan kemudian massa tumpah ruah ke jalanan. Mereka berkumpul bukan hanya untuk mendukung klub kesayangan tetapi juga memobilisasi massa. Dalam kurun waktu tahun 1980 hingga 1990-an, Barra Bravas menjadi kelompok suporter yang militan.
Contoh lain adalah Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) yang kini berusia senja, 95 Tahun. PSSI didirikan sebagai repson terhadap rasisme penjajah, karena saat itu kompetisi resmi hanya bagi orang-orang Belanda. PSSI menjadi tongkat konsolidasi pribumi, menciptakan ruang tanding sendiri yang tidak hanya menjadi simbol perlawanan terhadap kolonialisme tetapi juga wadah bagi identitas nasional yang mulai tumbuh. Kata Prasetyo, sejak awal, sepak bola di Indonesia memang bukan sekadar permainan.
Ia menambahkan, tatkala rezim Orde Baru sedang kuat-kuatnya dan pengekangan kebebasan berpendapat terjadi di mana-mana, stadion menjadi sedikit tempat masyarakat mampu menyalurkan ekspresi mereka meski tidak secara langsung mengkritik pemerintah. Komunitas suporter mulai terbentuk dan mengorganisir diri, misalnya Bobotoh dan Viking Persib Bandung yang didirikan pada 1993. Kemudian di tahun-tahun berikutnya lahir Jakmania dan Aremania. Mereka bukan hanya menghidupkan atmosfer pertandingan tapi juga rasa kolektivitas dan solidaritas dari orang-orang biasa.
Sejarah panjang dunia sepak bola hingga hari ini semestinya dilihat pada aspek perlawanan, sekurang-kurangnya ketidakadilan didalam kebijakan publik. Demikian juga GOT. Sepak bola harus mengakrabkan masyarakat. Untuk apa? Basis kekuatan yang mampu menjebol segala keruwetan yang diciptakan kekuasaan dan sistem yang kotor. Seperti isu yang hangat hari-hari ini tentang penggusuran lahan masyarakat oleh oligarki tambang di Halmahera Timur.
Pertanyaannya sederhana, bagaimana kita memanfaatkan ruang sosial yang terbentuk di Gurabati Open Tournament? Bisakah eksistensi Socrates dan Barra Bravas bisa hadir untuk menyiasati fenomena rezim saat ini?
*Penulis adalah Anak Muda Maluku Utara