Halmahera ; Sebuah Tafsir Ekologi

Paradigma mekanistik yang kini menguasai sumber daya alam Halmahera, dengan menggunakan paradigma tersebut secara nyata telah mengalami pertentangan yang cukup hebat dengan lingkungan sosial masyarakat Halmahera, masyarakat justru melihat Halmahera cenderung holistik esensi dari alam bukanlah materi melainkan jiwa. Berbagai ritual yang dijadikan tembusan sebagai rasa syukur mereka terhadap alam telah menempatkan paradigma masyarakat Halmahera sebagai gaya paradigma yang di sebut Frijof Capra sebagai paradigma Sistemik, Organik, Holistik dan Ekologis.

Cara pandang Frijof Capra dengan melihat alam yang bersifat dinamis dimana alam merupakan sebuah keseluruhan yang tak terpisahkan dan bersifat dinamis dengan bagian-bagiannya terkait erat satu sama lain dan dapat dipahami hanya bagian dari proses menyeluruh. Capra menerangkan bahwa pemahaman terhadap alam mempunyai relasi antara manusia dengan alam, pola relasi semacam ini adalah relasi saling merawat, penuh kasih sayang, saling mengisi saling mendukung, saling menunjang kehidupan dan memungkinkan setiap organisme yang mendiami ekosistem tumbuh dan berkembang untuk hidup. (Keraf:2014:86)

Cara pandang Capra melalui paradigmanya sebenarnya telah dijadikan sebagai local wisdom masyarakat Halmahera secara turun temurun, dimana setiap organisme yang mendiami Halmahera menjalin simbiosis mutualisme secara alamiah.

Keanekaragaman hayati Halmahera menjadi magnet, pemicu ini ditandai dengan kedatangan naturalis Inggris, Albert Russel Wallacea yang menjadi Halmahera sebagai objek observasi spesies endemik, hasil dari penelitian Wallacea dalam hutan Halmahera kemudian tuangkan dalam makalah “On The Tendency of Varieties to Depart Indefinitely from the Original Type” berisi ide teori seleksi alam kepada Charles Darwin di London, Inggris dengan bantuan kapal uap Belanda,pada Maret 1858. (Kompas edisi 09/09/19) Tidak berhenti, di dalam hutan Halmahera kemudian menjadi penanda spesies Semioptera wallaci/ bidadari Halmahera diperkenalkan dalam dunia ilmu pengetahuan.

Bukan hanya bidadari Halmahera yang menjadi daya tarik, lebah raksasa Wallace dengan nama latin megachile pluto menarik Clay Bolt ahli fotografer sejarah alam, Ahli Entomologi Eli Wymen dan ahli ekologi prilaku Simon Robson serta ahli burung Glenn Chilton menjejak kaki di hutan Halmahera. Penemuan lebah raksasa wallacea tersebut mengeger dunia, sebab spesies yang ditemukan pertama kali oleh Wallacea pada tahun 1859 dianggap telah punah namun pada tahun 1981 peneliti Amerika Adam Catton Messer menemukannya di Maluku utara; Bacan, Halmahera dan Tidore. 

BACA JUGA   Pilkada Halsel 2024, Kasiruta Dapat Apa? 

Pasca penelitian Adam keyakinan kepunahan lebah raksasa tersebut menguat sebelum Clay Bolt dan kawan-kawannya kembali menemukan lebah raksasa tersebut. Namun letak penemuan tersebut tidak dijelaskan secara detail sebab menurut Robin Moore ahli biologi konservasi dari Global Wildlife Conservation menjelaskan sangat berisiko, sebab lebah raksasa tersebut akan memicu kolektor lebah untuk diburu. (Malut Post edisi 15/03/19)