Perihal teks hymne itu sendiri, penulis hendak memberi semacam tafsir terhadap potongan baris atau larik tertentu yang notabene telah begitu menginspirasi penulis, bahkan penulis gunakan sebagai tagline dalam proses kandidasi penulis sebagai calon ketua umum PB HMI Periode 2023-2025 yang akan dihelat nanti di Pontianak, Kalimantan Barat.
Berangkat dari sebuah tesis Roland Barthes (1915-1980), seorang ahli semiotika dan filsuf dari Prancis, tentang “Matinya Pengarang” (the death of author), penulis tentu memosisikan diri sebagai pembaca teks hymne HMI karangan R.M. Akbar tersebut. Menurut penulis, keseluruhan teks atau lirik dari hymne itu bertumpu pada frasa “Bahagia HMI” yang disebutkan hingga dua kali sebagai penutup bait, baik di bait pertama maupun kedua.
Frasa “Bahagia HMI” dalam konteks ini (baca: bait pertama) memberi makna tentang sebuah kondisi di mana pertolongan (“hidayah dan taufiq”) dari sang maha memberi pertolongan itu mutlak menjadi penyebab paling utama (causa prima) sebagai kehendak universal. Pada konteks ini mencapai bahagia atau kebahagiaan ditentukan oleh alasan determinatif. Sementara pada bait kedua, frasa tersebut justru menjelaskan tentang sebuah kondisi emosional yang dialami lantaran upaya atau ikhtiar (yang di-“berkati”).
Jadi, perihal Bahagia HMI dalam hal ini menyangkut dengan dua konteks makna sekaligus, yaitu tentang kehendak universal dan ikhtiar manusia. Yang pertama bersifat determinan, sementara yang kedua bersifat non determinan. Keduanya praktis menjadi “jalan” yang dapat ditempuh oleh setiap kader HMI untuk mencapai tujuan HMI berdasarkan pasal 4 anggaran dasar HMI.
Indonesia Maju “madzhab” HMI: Tafsir tematis atas Khaldun, Durkheim dan NDP
Dalam sebuah kebetulan, perayaan Hari Sumpah Pemuda kali ini bertepatan dengan hiruk pikuk menyambut perhelatan “pesta” demokrasi limatahunan bernama pemilu (pemilihan umum). Kurang lebih tiga pasangan calon presiden dan calon wakil (capres-cawapres) presiden telah secara resmi terdaftar di lembaga penyelenggara pemilu pada beberapa waktu lalu, pun dalam selang waktu yang berdekatan di bulan pemuda ini. Ketiga pasangan capres-cawpres tersebut setali tiga uang adalah subyek yang menentukan semakin erat atau justru merenggangnya temali harapan kita selaku masyarakat bangsa ini untuk terus eksis menjadi Indonesia di masa akan datang. Setidaknya sampai lima tahun ke depan.
Momentum perayaan Hari Sumpah Pemuda ini sekaligus sebagai pengingat yang tegas bahwa sebagai sebuah ikrar dan spirit kaum pemuda, Indonesia telah jauh hadir menjadi rumah bersama yang telah dihuni dan dirawat hingga kini. Artinya, dengan tidak memungkiri potensi keterbelahan yang akan dan sedang terjadi akibat gesekan-gesekan politik menuju pesta demokrasi ini, baik di level elite maupun di basis akar rumputnya, maka upaya kolektif kaum pemuda untuk terus menjaga kewarasan publik agar tetap sejuk dan kondusif adalah sebuah pilihan sadar dan final. Terlepas dari apapun pilihan politik dalam momentum pemilu 2024 besok.