HMI BAHAGIA: “JALAN TENGAH” HMI MENUJU INDONESIA MAJU

Sebab, tak dapat disangkal bahwa pekikan ikrar Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 tersebut menjadi saksi sekaligus monumen politik kebangsaan yang dipahat oleh generasi muda kala itu yang bersenyawa dengan dasar semangat keindonesiaan mereka yang terus berkobar meskipun tengah berada dalam tekanan atau ancaman yang membahayakan persatuan mereka atas nama tanah air, bangsa dan bahasa itu.

Sehingga tepat pada kondisi kesejarahan inilah, penulis hendak memproyeksikan sebuah gagasan penting mengenai Indonesia pada satu atau dua dekade ke depan yang lebih sigap merespons segala tantangan zaman yang penulis beri tajuk sebagai: Indonesia Maju “madzhab” HMI di atas.

Lantas, mengapa “madzhab” HMI? Bukankah selain HMI, terdapat pula organisasi-organisasi berbasis kemahasiswaan atau kepemudaan lainnya atau yang kerap disebut organisasi Cipayung itu yang juga memiliki cara pandang tentang Indonesia? Tentu pada ruang ini penulis tidak bermaksud membuat semacam generalisasi mewakili semua unsur kelembagaan dimaksud. Tentang “madzhab” HMI untuk Indonesia Maju semata-mata merupakan percikan dari sebuah ritus permenungan penulis sebagai seorang kader HMI.

Ada tiga hal mendasar yang hendak penulis kemukakan. Pertama, menurut penulis, keindonesiaan kita adalah buah dari kerekatan atau solidaritas yang telah terjalin atas dasar rasa senasib sepenanggungan sebagai sebuah bangsa atau pertalian sejarah dari peradaban yang sama. Atau yang diistilahkan oleh Ibnu Khaldun (1332-1406), seorang sosiolog dan pemikir politik terkemuka, sebagai ashabiyah. Sebab dari ashabiyah inilah rasa bersatu itu eksis. Menurut Ibnu Khaldun dalam sebuah magnum opusnya berjudul Mukaddimah (1986), pertalian ashabiyah dalam maknanya lebih luas merupakan perasaan yang mengikat dalam sebuah persaudaraan atau sebuah solidaritas kolektif. Perasaan ini diikat oleh kesatuan visi, misi, sejarah, tanah air dan bahasa.

BACA JUGA   DPD 'bukan' Dewan Perwakilan Daerah

Kedua, beberapa abad setelah Ibnu Khaldun, konsep tentang solidaritas sosial juga dikemukakan oleh seorang sosiolog dan antropolog bernama Émile Durkheim (1858-1917). Menurut Durkheim, solidaritas sosial itu terdiri dari dua bentuk, yakni solidaritas sosial mekanik dan solidaritas organik. Jika bentuk yang pertama lebih identik atau berlaku pada masyarakat primitif, maka yang kedua lebih merepresentasi bentuk ikatan pada masyarakat kompleks, yaitu masyarakat yang sudah mengenal adanya pembagian kerja dan dipersatukan oleh sifat saling ketergantungan.  Pendeknya, bentuk kedua ini secara substansial sebagaimana yang dikemukakan Khaldun tentang ashabiyah dalam makna yang luas itu.

Ketiga, dari kedua konsep tentang ashabiyah dan solidaritas sosial organik tersebut, penulis lantas menegaskan bahwa yang dimaksud dengan “madzhab” HMI adalah konsep-konsep mendasar yang bersifat universal sebagai tafsir atas realitas masyarakat yang di dalamnya juga mengulas perihal pertalian atau solidaritas sosial. Tafsir tersebut galibnya disebut di kalangan kader atau anggota HMI sebagai tafsir NDP (Nilai-nilai Dasar Perjuangan). NDP sendiri disusun langsung oleh mendiang Prof. Nurkholis Madjid () atau yang akrab disapa Cak Nur dan beberapa teman sesama alumni HMI ketika itu. NDP terdiri dari 7 (tujuh) bab yang saling berkelindan antara satu bab atau bagian dengan bagian lainnya. Secara spesifik tentang solidaritas sosial tersebut dibahas pada bab lima dan enam, yakni: “Individu dan Masyarakat” dan “Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi.”