Husain Sjah dan Maluku Utara Berkelanjutan

Oleh:

Arifin Muhammad Ade (Mahasiswa Doktoral Konservasi Biodiversitas Tropika, IPB University)

Maluku Utara, tidak hanya dikenal dengan keindahan alam dan kekayaan sumber daya alamnya, tetapi juga sebagai pusat sejarah dan budaya yang kaya. Wilayah ini menjadi rumah bagi empat kesultanan, yakni Tidore, Ternate, Jailolo, dan Bacan yang memiliki peran penting dalam perdagangan rempah-rempah global pada masa lalu. Kini, Maluku Utara tengah menghadapi tantangan modern untuk mencapai keberlanjutan ekonomi dan lingkungan.

Tulisan ini dibuat sebagai tanggapan atas opini Malut Post bertajuk “Benny Laos dan Solusi Kepemimpinan Malut” yang ditulis Ketua Gen Muda Bela Malut beberapa waktu lalu. Pada sub-judul terakhir tertulis “Benny Laos dan Pembangunan yang Sustainable”. Namun, dalam tulisan tersebut tidak diuraikan secara mendalam makna dari kata “sustainable”, justru lebih banyak menggambarkan sosok seorang Benny Laos, serta pengalamannya memimpin Morotai sebagai bupati pada periode 2017-2022.

Jika kita mengulik kemunculan kata “sustainable”, istilah tersebut pertama kali diperkenalkan oleh ahli kehutanan Jerman Hans Carl von Carlowitz pada 1713 dalam buku berjudul “Sylvicultura Oeconomica”. Penggunaan istilah tersebut lebih mengarah pada isu lingkungan hidup. Namun seiring waktu, istilah sustainable terus berkembang dan diterima dalam berbagai ilmu pengetahuan. Puncaknya di abad 20, istilah tersebut digunakan lebih luas, terutama dalam konteks lingkungan dan pembangunan.

Ketika istilah sustainable digunakan untuk menggambarkan program pembangunan yang dilakukan oleh seorang kepala daerah di daerah tertentu. Secara otomatis pertimbangan atas lingkungan hidup tidak bisa diabaikan. Artinya, segala bentuk pembangunan yang dilakukan wajib memasukkan aspek lingkungan hidup, sembari memperhatikan aspek sosio-ekonomi dan budaya masyarakat, sebagai prasyarat untuk mendukung terselenggaranya pembangunan yang berkelanjutan.

BACA JUGA   Menggubah Patriarki

Dalam konteks Maluku Utara, sebagai daerah kepulauan, potensi sumber daya alam tersebar secara merata di berbagai tipe ekosistem. Di laut terdapat potensi sumber daya perikanan yang sangat melimpah. Di daratan, kawasan hutan menyimpan beranekaragam flora dan fauna yang beberapa diantaranya tidak terdapat di daerah lain atau endemik. Bahkan, di dalam perut bumi Moloku Kie Raha, terkandung sumber daya mineral yang sangat melimpah.

Walaupun menyimpan potensi sumber daya alam yang melimpah, namun pengelolaan dan pemanfaatannya juga harus mempertimbangkan aspek kelestarian. Untuk mendukung langkah tersebut, maka perlu untuk mendorong kebijakan pembangunan dan terutama politik sumber daya alam ke arah yang lebih ramah lingkungan. Pada tahapan ini, seorang kepala daerah sangat penting dan dituntut untuk memiliki kesadaran ekologi atau ecological awareness dalam dirinya.

Di sisi lain, sebagai daerah kepulauan, mengimplementasikan program pembangunan berkelanjutan di Maluku Utara sangat penting untuk dilaksanakan. Hal ini karena wilayah kepulauan sangat rentang terhadap ancaman perubahan iklim. Berdasarkan data BPS Maluku Utara tahun 2022, jumlah pulau di Maluku Utara sebanyak 837, tak ayal kehilangan pulau akan terjadi seiring semakin naiknya permukaan air laut dan mengancam masyarakat pesisir.