Husain Sjah dan Maluku Utara Berkelanjutan

Husain Sjah, Sosok Pemimpin yang Ekologis

Di tengah ancaman krisis dan bencana ekologi yang terjadi dan mengancam umat manusia, kesadaran ekologis menjadi suatu hal yang tidak dapat ditawar dan harus ditumbuh-kembangkan di lingkungan masyarakat. Namun tidak hanya itu, penting juga untuk memilih pemimpin yang memiliki visi ekologis jauh ke depan. Pemimpin yang dapat melahirkan kebijakan-kebijakan tanpa mengesampingkan aspek lingkungan hidup dan kelestariannya.

Sultan Tidore Husain Sjah adalah sosok sekaligus calon gubernur Maluku Utara yang dalam dirinya tertanam visi ekologis. Hal ini bisa dilihat pada kontribusinya menjaga keanekaragaman hayati di Maluku Utara. Kepeduliannya terhadap keberlanjutan lingkungan menjadi salah satu pilar dalam rencana dan strategi politiknya, sebagaimana tertuang dalam visi-misi yang diusung, sekaligus membedakannya dari kandidat lain.

Pandji Y. Kusumasumantri (2022) dalam bukunya berjudul “Peran Sultan dan Raja dalam Sejarah Konservasi Alam Indonesia”, menjelaskan bahwa sultan Tidore ke-37 itu menerbitkan Surat Himbauan dan Dukungan Kesultanan Tidore No.04/KPTS/ST/III/2018 tanggal 13 April 2018, yang menyatakan bahwa kawasan hutan Taman Nasional Aketajawe-Lolobata berada dalam wilayah Kesultanan Tidore perlu dijaga keutuhan dan kelestariannya.

Walaupun Sultan Tidore memang tidak secara langsung menunjuk kawasan konservasi di kawasan hutan Taman Nasional Aketajawe-Lolobata. Namun, kesadaran dan prakarsa dari sultan tersebut patut dihargai sebagai bagian dari partisipasi dalam mendukung praktek konservasi di Maluku Utara, serta upaya menyelamatkan produk Sang Pencipta untuk kelestarian Taman Nasional Aketajawe-Lolobata di masa akan datang.

Sultan Tidore juga menyadari bahwasanya potensi sumber daya mineral yang terkandung di dalam perut bumi Maluku Utara merupakan karunia Tuhan dan patut disyukuri. Namun, pengelolaannya harus memenuhi kaidah-kaidah yang berlaku dan memberikan dampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana diamanatkan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.

BACA JUGA   Metaverse, Siapkah Kita?

Dikutip dari tandaseru.com (30/01/21) bertajuk “Rencana Operasi Perusahaan Tambang Emas di Tidore Tuai Sorotan”, Sultan Tidore yang juga calon gubernur Maluku Utara periode 2025-2030 tersebut menegaskan bahwa “investor yang datang tetap kita membuka diri, tetapi investor juga harus tahu diri.” Di saat bersamaan ia juga mengatakan bahwa “……alam ini jangan dirusak, yang mengakibatkan anak cucu kita nanti terancam.”

Statemen di atas mengandung pesan bahwa investor yang berinvestasi di sektor pertambangan di Maluku Utara harus dapat memberikan dampak pada masyarakat setempat, serta ikut berperan dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup. Bukan sekadar mengakumulasi kekayaan dari sektor industri ekstraktif tersebut, lalu meninggalkan kondisi lingkungan yang rusak ketika cadangan sumber daya mineral mulai habis.

Sekilas, sektor pertambangan ikut berperan dalam penciptaan lapangan pekerjaan, menambah pemasukan negara, hingga pembangunan infrastruktur yang memberikan kemudahan bagi masyarakat. Namun, di balik itu semua, realitas yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa aktivitas pertambangan juga membawa banyak dampak negatif yang tak kalah mengerikan, terutama dalam konteks sosio-ekologi.