Oleh :
Ghozal Elfridho (Ketua Umum HIPMI Kota Ternate)
Hari Kartini tidak pernah kehilangan relevansi. Ia hadir bukan sekadar untuk dikenang sebagai simbol emansipasi perempuan, tetapi sebagai pengingat bahwa perjuangan melawan ketertinggalan baik dalam pendidikan, sosial, maupun ekonomi masih terus berlangsung. Di tanah Maluku Utara, yang kata orang adalah negeri para raja dan para kapita. Khususnya di Kota Ternate, semangat itu bergema dengan cara yang berbeda. Ia hadir dalam bentuk warung kopi kecil milik anak muda, usaha rumahan yang dijalankan perempuan muda, hingga startup digital yang lahir dari semangat kemandirian. Kartini hidup dalam tubuh-tubuh lelah yang tidak mewarisi kemewahan, tapi mewarisi keberanian untuk bermimpi. Selaras dengan narasi itu, melengkapi fakta bahwa anak muda maluku Utara itu “hidup jang talalu banyak gaya, tapi banyak karya.”
Jujaru se Ngogare muda toma Ternate hari ini berada di tengah realitas yang kompleks. Di satu sisi, mereka dibesarkan dalam masyarakat yang belum sepenuhnya adil terhadap perempuan. Patriarki masih kuat menancap dalam ruang keluarga, pendidikan, bahkan dunia usaha. Perempuan muda yang memilih jalan usaha sering kali dianggap “tidak wajar,” “terlalu berani,” atau bahkan “tidak tahu diri.” Sementara laki-laki muda, meski dianggap memiliki lebih banyak ruang untuk bergerak, justru terperangkap dalam ekspektasi yang membebani bahwa mereka harus berhasil, harus kuat, harus memimpin. Padahal, kenyataan hidup tidak selalu sejalan dengan itu.
Namun, dari kota ini, kita melihat harapan. Kita melihat Kartini-Kartini muda yang berdiri dengan keberanian, membuka usaha kecil dengan modal pinjaman atau hasil tabungan dari pekerjaan lepas. Mereka menjual makanan dari dapur rumahnya, membuka jasa make up sederhana, membuat baju dengan desain lokal, dan memasarkan produk mereka lewat Instagram dan WhatsApp. Mereka bekerja dengan cara mereka sendiri, sering tanpa dukungan negara, tanpa bantuan pemerintah, dan tanpa jaminan keberhasilan. Tapi di sanalah justru semangat Kartini hidup, pada tekad untuk mandiri dan menolak tunduk pada keterbatasan.
Laki-laki muda juga mulai berubah. Banyak di antara mereka memilih jalan usaha bukan karena warisan, tetapi karena menyadari bahwa pekerjaan formal tak mampu menampung cita-cita dan kebutuhan hidup. Mereka membangun brand lokal, menjual kopi dari petani Halmahera, membuka jasa desain grafis, hingga menjadi reseller produk fashion dari luar daerah. Mereka belajar dari nol, mencoba dan gagal berkali-kali, namun tetap bertahan. Mereka mulai sadar bahwa menjadi lelaki hari ini bukan soal dominasi, tapi kolaborasi. Bahwa keberhasilan usaha bisa lahir dari kerja sama yang setara dengan perempuan entah sebagai pasangan, sahabat, atau rekan usaha.
Dalam konteks ini, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) hadir bukan hanya sebagai organisasi, tetapi sebagai ruang gagasan. HIPMI mengusung nilai kemandirian, keberanian, inovasi, dan kolaborasi. Nilai-nilai yang sejalan dengan semangat Kartini. Kemandirian adalah ketika seorang pemuda Ternate berani membuka usaha sendiri tanpa bergantung pada proyek pemerintah. Keberanian adalah saat seorang perempuan muda membuka toko online meski ditertawakan lingkungan. Inovasi adalah ketika potensi lokal seperti pala, cengkeh, atau rempah dijadikan komoditas bernilai tambah. Dan kolaborasi adalah ketika laki-laki dan perempuan muda duduk bersama, membangun usaha tanpa ego dan tanpa rasa superioritas gender.