Tapi tentu perjuangan ini tidak ringan. Masalah klasik seperti keterbatasan modal, minimnya pelatihan, dan akses pasar masih menjadi hambatan utama. Banyak pengusaha muda, terutama perempuan, tidak bisa mengakses pinjaman bank karena tidak punya jaminan. Padahal semangat dan ide mereka sangat besar. Di sisi lain, dukungan dari pemerintah daerah kadang hadir hanya dalam bentuk seremoni pelatihan satu kali, pameran sesaat, atau bantuan stimulan yang tidak berkelanjutan. Padahal, untuk benar-benar tumbuh, usaha kecil perlu ekosistem jaringan pemasaran, pembinaan berkelanjutan, perlindungan hukum, dan akses informasi yang setara.

Di tengah keterbatasan itu, yang paling menentukan adalah mentalitas. Semangat. Daya juang. Karena menjadi pengusaha muda di Ternate hari ini bukan hanya soal cari untung, tapi juga soal keberanian melawan ketimpangan. Ia adalah bentuk perlawanan terhadap budaya “tunggu proyek,” terhadap warisan feodalisme ekonomi yang masih kuat di daerah. Pengusaha muda hari ini sedang berusaha mematahkan anggapan bahwa masa depan hanya milik mereka yang punya koneksi politik atau keluarga berada.

Dan dalam perjuangan ini, semangat Kartini tak boleh dilupakan. Karena usaha bukan ruang netral. Ia dibentuk oleh struktur sosial, budaya, dan ekonomi yang sering kali timpang. Maka ketika seorang perempuan muda Ternate memilih jalan usaha, ia sedang melawan banyak hal sekaligus pandangan orang tua, norma masyarakat, minimnya akses modal, dan beban kerja ganda sebagai anak dan pekerja. Ia adalah Kartini versi baru. Ia bukan lagi perempuan yang menulis surat kepada sahabat Belanda, tapi perempuan yang menulis caption produk di Instagram sambil mengurus dapur dan menjaga adik.

Ternate hari ini memiliki potensi besar untuk menjadi kota pengusaha muda. Dengan bonus demografi, akses digital yang makin luas, dan potensi lokal yang melimpah, kota ini bisa menjadi pusat pertumbuhan ekonomi kreatif dan UMKM. Tapi itu hanya bisa terjadi jika kita mau berubah. Jika pemerintah mau keluar dari mentalitas seremoni dan mulai membangun kebijakan yang berpihak pada anak muda. Jika komunitas seperti HIPMI bersedia turun ke akar rumput, membina bukan hanya yang sudah sukses, tapi juga yang baru mulai. Dan jika masyarakat mau berhenti menganggap usaha kecil sebagai pilihan “terpaksa,” melainkan sebagai jalan mulia menuju kemandirian.

BACA JUGA   Mencegah Bukan Memaklumi Tindakan Bullying Anak

Hari Kartini adalah momen refleksi. Ia bukan hanya hari perempuan, tapi hari untuk merenungkan ulang bagaimana kita memaknai perjuangan, kesetaraan, dan kemajuan. Di Ternate, kita tidak butuh lebih banyak seremoni. Kita butuh lebih banyak ruang usaha, lebih banyak keberanian memulai, dan lebih banyak Kartini baik perempuan maupun laki-laki yang mau berjuang membangun masa depan dengan tangan mereka sendiri.

Kartini dari Timur bukan sekadar simbol. Ia adalah nyala kecil yang hidup dalam langkah pengusaha muda yang menolak menyerah. Ia adalah suara dalam hati yang berkata kalau bukan sekarang, kapan lagi? Kalau bukan kita, siapa lagi?

Salam hangat dan takzim dari saya, Ghozal Elfridho Ketua Umum HIPMI Kota Ternate. Selamat Memperingati Hari Kartini. Syukur Dofu-dofu.