“Ada beberapa gerakan dalam tarian kene-kene yang saya kreasikan sendiri untuk memberi makna lebih dari tarian itu, tentu dengan berdasarkan masukan para tetua,” ujar Ka Dean.
Keberhasilan sanggar Kabata dalam melestarikan dan menghidupkan tarian yang terlupakan, akhirnya membuat nama sanggar ini kian dikenal oleh masyarakat Halteng, sanggar ini pun kemudian selalu diundang tampil di setiap kegiatan baik lokal maupun dalam event-event nasional. Kita tentu masih ingat dengan penampilan tarian Lalayon kolosal pada pembukaan STQ tingkat provinsi di Halteng yang sempat viral beberapa waktu lalu, para penari yang tampil tersebut dilatih dan dibina di sanggar Kabata.
Terdapat beberapa jenis tarian yang kini rutin ditampilkan oleh Ka Dean dan rekan-rekannya, diantaranya Tari Lalayon, Tari Bonmayu dan Tari Kene-kene. Sanggar Kabata sendiri saat ini melatih para penari dari berbagai usia, ada kelompok anak-anak, remaja dan juga orang dewasa. Tak terhitung sudah berapa banyak anak-anak Halteng yang dilatih di sanggar ini.
Mengenai tradisi Cogo Ipa, Ka Dean bercerita, bahwa tradisi ini lahir dipengaruhi oleh spiritualitas orang Gamrange saat itu. Menurutnya, pengaruh islam tidak dapat dipisahkan dari tradisi ini. Cogo Ipa menurut Ka dean merupakan simbol penghambaan diri sebagai mahluk yang tidak luput dari kekurangan.
Karena itu, topeng (mef) yang digunakan adalah sarana untuk menutupi kekurangan diri, Cogo Ipa juga mengajarkan agar kita fokus pada esensi sebuah peringatan yang diberikan oleh seseorang kepada kita, bukan berfokus kepada siapa yang memberi peringatan tersebut. Karena setiap manusia pasti memiliki kekurangan yang ia tutupi dan ditutup oleh Allah.
Hari semakin sore dan diskusi kami nampaknya kian mendalam. Perlahan, Ka Dean menjelaskan satu persatu filosofi yang terkandung dalam gerakan setiap tarian yang diajarkan di Sanggar Kabata.
Selain makna tradisi Cogo Ipa, ia juga menceritakan makna dibalik tarian Lalayon yang tak kalah indahnya. Tarian yang konon kelahirannya terinspirasi dari sepasang burung, setiap gerakannya menunjukkan keluhuran budi para pendahulu. Gerakan penari laki-laki yang terus berusaha mendekati penari perempuan tanpa sedikitpun menyentuh raganya, mengajarkan kita tentang adab pergaulan para pendahulu. Makna dalam setiap gerakan tari inilah yang membuat Ka Dean dan rekan-rekannya tidak mau berhenti berjuang melestarikannya, meskipun pasang surut pasti selalu mewarnai kehidupan Sanggar Kabata.
“Kita pernah vakum di tahun 2017 sewaktu pilkada, saat sanggar juga terkena imbas politik, perhatian ke torang tidak ada waktu itu, tapi torang tidak mungkin menyerah, di tahun 2018, saya dan beberapa teman kemudian berusaha menghidupkan kembali aktivitas sanggar hingga bisa terus berjalan hingga saat ini,” tuturnya.
Sementara untuk tarian Bonmayu, menurutnya lahir dari kisah kepulangan pasukan Gamrange (Weda, Patani, Maba) yang diutus oleh Sultan Tidore untuk membantu saudara-saudaranya yang saat itu tengah berperang melawan penjajah di Perang Jawa. Dimana dalam perjalanan pulang, sempat melewati daerah Cirebon dan Indramayu, dari nama kedua daerah inilah asal nama tarian Bonmayu.