Selain pemerkosaan dalil konstitusi. Keputusan Mahkamah Konstitusi terkait batas usia calon presiden dan wakli presiden, terdapat juga pintu lain yang bisa menjadi batu loncatan berikutnya agar Gibran bisa lolos sebagai calon Wakil presiden. Partailah sebagai penentu. Politik itu dinamis dan misterius.
Golkar sebagai partai, harus rela mengeliminasi kader-kader terbaiknya demi kepentingan politis. Ketua partai Golkar Airlangga Hartarto yang sejak awal diendorse dan digadang-gadang oleh Golkar sebagai calon wakil Prabowo harus mengakui dengan lapang dada bahwa Gibran yang terbaik di antara seluruh kader golkar. Pun demikan adanya, Gibran seorang yang berbaju merah akan segera berubah menjadi kuning dalam tempo yang cukup singkat.
Usia senja dan milenial boleh saja diberi kesempatan untuk mencalonkan sebagai pemimpin, siapapun boleh. Yang menjadi soal ialah apakah Gibran Rakabuming memiliki kemampuan untuk menjadi seorang Wakil Presiden? Tentu saja tidak. Ketidak berdayaan Gibran menjadi wakil presiden bukan persoalan usia. Tetapi apa yang disebut sebagai “patrimonial” yang menuju pada neo-patrimonial, yakni mengutamakan ikatan “genealogis” daripada “merit sistem”.
Publik tahu bahwa keputusan MK bersifat politis, tetapi masyakat tidak mempunyai daya kuasa yang berarti oleh karena antara (rakyat bangsa dan negara) sebetulnya terpisah. Rakyat dan negara dipisahkan oleh “partai politik”. Publik hanya menunggu apa yang diputuskan partai tanpa mampu menentukan kedaulatannya, untuk memilih pemimpin. Padahal Jelas, Cita-cita konstitusi sepantasnya mengamanatkan bahwa calon presiden/Wakil dipilih dari perwakilan yang tertinggi sekali, sekumpulan majelis yang dipilih melalui rakyat terkecil (Kepala Keluarga). Bukan Partai dan pengaruh hirarki kekuasaan.
Dalam sistem pemerintahan yang berlandaskan demokrasi maka setiap orang diperbolehkan untuk memilih dan dipilih melalui mekanisme pemilihan umum. Oleh sebab itulah maka dinasti-isme menjadi sulit dihindari. Maraknya fenomena istri gubernur, anak anggota dewan atau istri bupati mencalonkan diri dan terpilih, atau seorang menantu menggantikan posisi mertuanya dalam posisinya sebagai walikota, merupakan fenomena dinasti-isme dalam sistem pemerintahan di banyak daerah.
Selain itu, karena dinasti-isme cenderung dianggap negatif dalam sebuah sistem pemerintahan, sedangkan demokrasi sendiri memberikan ruang kepada petahana untuk bisa mencalonkan salah seorang anggota keluarganya. Simalakama antara sistem dan kehendak kedaulatan rakyat.
Oleh karena itu, penulis menganggap ada dua hal yang perlu dijadikan sebagai bahan diskursus di tingkat bangsa maupun negara. Pertama adalah kelayakan sistem demokrasi. Dan kedua adalah pendidikan kepemimpinan karakter kebangsaan untuk menciptakan Leadership Of The people, Not Leadership To Followership.