Menakar Kembali Peran Petani (DID Dikorupsi atau Tidak, Nasib Petani Tetap Sama)

Oleh :

Fajjin Amiiq Tarwan (Mahasiswa Agroteknologi Unkhair & Kader dJaman Malut)

Pada 26 April 2024, media marak mengangkat kasus korupsi Dana Insentif Daerah (DID) tahap II tahun 2020. Korupsi yang melibatkan Dinas Pertanian, karena temuan awal Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Kasus yang menimbulkan kerugian negara sebesar Rp.750.241.362,64 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

Hal ini cukup menyita perhatian, sebab jarang  kita dapati kasus korupsi terjadi di Kota Tidore Kepulauan. Pastinya yang dirugikan dalam hal ini tentu para petani. Memang benar, ada sebagian masyarakat yang menjadikan bertani hanya sebagai hobi. Namun, di Kota Tidore Kepulauan, ada juga orang-orang yang benar-benar mengandalkan bertani sebagai penghasilan utama. Mulai dari petani pala, cengkeh, kopra, maupun petani hortikultura lainnya. Pendapatan mereka sangat di tentukan dari nilai jual hasil tani di pasaran.

Ketimbang memberdayakan secara maksimal petani lokal secara luas dan menyeluruh dalam memenuhi kebutuhan beberapa bahan pokok, Pemkot Tikep lebih mengandalkan impor dari Sulawesi Utara. Toh, sekadar singkong dan ubi jalar pun masih mengandalkan pemasokan dari Halbar. Hanya singkong dan ubi jalar lho!

Padahal, jika ditelisik kembali potensi pertanian Tidore tentu sangat besar dengan adanya tiga kecamatan oba yang luas dan masih perawan. Fauzi Robo selaku Kadis Pertanian mengungkapkan “Belum ada kejelasan mengenai data yang valid atas luas lahan, jumlah dan jenis komoditi yang di tanam, sarana dan prasarana, kebutuhan pupuk, jumlah produksi di Kota Tidore Kepulauan,” (InfoPublik, 25/01/2024).

Hal ini menandakan bahwa Dinas Pertanian dalam sepuluh tahun terakhir tidak serius dalam melihat apa yang dibutuhkan para petani. Padahal sektor pertanian merupakan penyumbang PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) terbesar kedua di Tidore. Progres Pertanian Tidore juga terkesan hanya merapal teori. Bantuan, fasilitas, dan sarana-prasarana terkesan salah fungsi, kucuran dari Dana Insentif Daerah kepada petani seakan hanya titipan pemerintah pusat, dalam hal ini Dinas Pertanian terlihat sekedar memberikan bantuan ataupun penyuluhan singkat.

BACA JUGA   Sebuah Kritik Tentang Hilirisasi Nikel

Selepasnya, petani dibiarkan berjalan dan mengelola hasilnya sendiri. Akhirnya, konsistensi dan kestabilan pemasokan komoditi tertentu hampir tidak pernah terpenuhi. Minimnya penyuluhan dan program terpadu yang intens juga menjadi masalah yang terus-menerus berulang. Belum lagi, hasil pertanian diperhadapkan dengan harga, bahkan permintaan yang fluktuatif (tidak menentu). Sistem ekonomi yang harusnya menguntungkan petani lokal saat terjadi kelangkaan bahan pangan. Semua diserahkan pada Mekanisme yang terjadi di pasar, sisanya dibiarkan berjalan dengan sendirinya.

Alhasil, petani mengalami kerugian akibat penumpukan bahan pangan di pasar dan harga jual yang anjlok. Tingginya biaya produksi usaha tani dalam sekali masa budidaya atau masa tanam. Diperparah dengan perubahan iklim yang tidak bisa diterka, mengakibatkan nasib petani kian pelik.

Pembagian fokus di tubuh Dinas Pertanian Tikep dalam mengarahkan dan membimbing petani, mulai dari proses persiapan usaha tani, sampai pada pengolahan hasil panen penting kiranya dicanangkan, ini demi mencapai standar kebutuhan masyarakat, atau bahkan untuk memenuhi produksi olahan turunan.

Pengadaan, pembangunan, dan pengembangan semacam “pabrik olahan saus tomat” ataupun pemanfaatan masyarakat melalui UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) dan sejenisnya, seakan tidak menjadi minat Pemkot Tikep. Padahal, program semacam ini jelas terarah dan berpotensi dalam meningkatkan pendapatan masyarakat petani, daerah, bahkan negara.

Peluang pasar bebas pasca masuknya industri pertambangan di Provinsi Maluku Utara seharusnya mampu dilihat Pemkot Tikep, sebagai salah satu peluang dalam mengatasi penumpukan hasil panen, atau dalil acuan untuk meningkatkan produksi pertanian di Kota Tidore juga untuk memenuhi kebutuhan pangan di sektor industri pertambangan yang, tentu sangat bisa di manfaatkan sebagai salah satu opsi, dari tujuan akhir distribusi pangan atau olahan turunan hasil pertanian.

BACA JUGA   Lafran Pane Untuk Indonesia; Sebuah Intisari Film Lafran Pane, Pendiri HMI

Hari ini petani Indonesia khususnya di Tidore selalu mengalami kendala yang itu-itu saja. Tataniaga yang buruk telah menjadi andalan di setiap ungkapan keluh kesah petani. Maksimalisasi kinerja dan program pada berbagai sektor di dalam maupun di luar tubuh Dinas Pertanian Tikep, patut kiranya ditata dan digencarkan lagi agar menjadi evaluasi program menengah dan jangka panjang Pemkot dan dinas-dinas terkait kedepan, ketimbang menggelar perhelatan “joget Goyang Tidore” yang dalam beberapa jam saja  meninggalkan sampah dan cerita belaka.

Terlepas dari berbagai macam problem yang terus menumpuk. Peran mahasiswa sebagai pemegang gelar Agen of Control (Kontrol) dan Agen of Change (perubahan) juga patut di persoalkan. Terlebih khusus, mahasiswa yang berasal dari Kota ini. Dalam hal ini, mahasiswa harus jeli dalam melihat; konsep, ide, dan data ilmiah yang terus berkembang, juga semestinya tersampaikan dan terealiasasi dengan baik di kalangan petani, bahkan masyarakat secara keseluruhan. Kesadaran bahwa persoalan sektor pertanian yang semrawut dewasa ini, tidak melulu Clear (selesai) dibalik meja kelas, microskop Lab, dan bilik-bilik perpustakaan saja. Gerak langsung dari akademisi saat ini sudah sangat diperlukan, dan sudah seharusnya diimplementasikan dalam ruang realitas.