Psikologi modern juga melestarikan pandangan yang sama. Psikologi modern mengklaim bahwa biologi perempuan menentukan psikologinya dan, karena itu, kemampuan dan perannya. Sigmund Freud, misalnya, mengatakan bahwa “anatomi adalah takdir”. Manusia normalnya Freud adalah laki-laki, menurut defenisinya, perempuan adalah manusia yang menyimpang yang tidak punya penis. Inilah ajaran dan teori kuno, dari agama hingga ilmu pengetahuan modern yang tidak membebasakan. Yang dipakai sebagai landasan norma-norma kuno untuk mengeksploitasi tubuh dan aktifitas ibu, istri, adik, kakak, teman dan pacar kita.
Sampai saat ini, norma-norma di atas atau sejenisnya terus dipakai oleh kelas penguasa untuk mengontrol aktivitas masyarakat. Sehingga kita akan temukan banyak macam eksploitatif, terutama dalam aktifitas memenuhi kebutuhan hidup perempuan yang ada di ruang privat maupun publik. Berikut data eksploitasi upah buruh perempuan Indonesia dari Kementrian Perempuan dan Perlindungan Anak di tahun 2011-2015:
Apakah kesenjangan upah di atas menguntungkan buruh laki-laki? Mari kita hitung berapa besaran nilai yang dicuri dari buruh perempuan di tahun 2015? Menurut data di atas pencurian nilai kerja buruh perempuan sebesar 13,83%. Ini didapat dari upah buruh laki-laki dikurangi upah buruh perempuan. Rp. 1.944.251 – Rp. 1.675.269 = Rp. 268.982 (13,83%).
Ini berarti, terjadi pencurian oleh kapitalis terhadap hasil kerja seorang buruh perempuan sebesar Rp. 268.982 (13,83%) di setiap bulan sepanjang tahun 2015. Jadi, sudah pasti bukan buruh laki-laki yang mendapat untung dari kesenjangan upah di atas tapi kapitalis lah yang menghisap yang lebih banyak mendapatkan keuntungan. Namun, ada juga pekerjaan lain seperti melahirkan, menyusui, dan memasak yang dilakukan oleh perempuan di rumah sebagai ibu rumah tangga yang tidak diakui oleh kelas penguasa.
Seperti inilah wujud dari praktik-praktik eksploitatif terhadap tubuh dan aktifitas perempuan di ranah privat maupun ruang publik yang oleh Khamla Bhasin menyebutnya sebagai kerja produktif yang tidak diakui dan tidak dibayar.
Eksploitasi upah terhadap buruh perempuan di atas telah ada jauh sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, pada tahun 1912 di masa kolonialisme Belanda, perempuan Hindia Belanda (Indonesia) telah berbicara tentang eksploitasi upah buruh tersebut. Dewi Sartika adalah perempuan pertama yang memperjuangkan keadilan bagi buruh perempuan terutama untuk mendapatkan upah layak.
Landasan norma-norma dan praktik-praktik di atas merupakan representatif dari banyaknya eksploitasi yang terjadi dalam kehidupan perempuan. Dari realitas semacam ini lah maka tumbuh berbagai macam teori patriarki yang digubah oleh berbagai sumber. Namun, teori patriarki, yang menyatakan adanya perbedaan mendasar antara laki-laki dan perempuan yang menjadi sumber kekuasaan laki-laki, diterima begitu saja oleh kebanyakan kaum kiri hari ini.
Teori tersebut dikembangkan oleh feminis seperti Juliet Mitchell dan Miriam Dixson, yang dalam bukunya berjudul The Real Matilda (Matilda yang Sebenarnya), cenderung menyalahkan kelas pekerja laki-laki Irlandia atas penindasan yang dialami perempuan. Hal yang sama juga dilakukan oleh Heidi Hartmann yang mendefinisikan patriarki sebagai satu himpunan yang punya basis material dan menjadi tempat berlangsungnya hubungan hirarkis antara kaum laki-laki dan solidaritas antara mereka, yang kemudian memungkinkan mereka mendominasi kaum perempuan.