Konsep bioregionalisme sendiri hadir sebagai jawaban atas adanya pro dan kontra yang berkembang di kalangan akademisi yang kerap mempertentangkan antara ekonomi dan ekologi. Di satu sisi, pihak yang mendukung pertumbuhan ekonomi berpendapat bahwa eksploitasi atas sumber daya alam dapat dibenarkan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Di sisi yang lain, pihak yang peduli pada kelestarian lingkungan (aliran ekologi) mencoba mempertahankan kondisi lingkungan demi generasi akan datang sebagai basis argumen yang mereka bangun.
Singkatnya, ekonomi bioregional (ekonomi hijau) adalah ekonomi yang menyesuaikan seluruh aktivitasnya dengan kondisi dan potensi alam setempat untuk mewujudkan kesejahteraan penghuninya sambil tetap mempertahankan keseimbangan alamiah ekosistem setempat sebagaimana menjadi inti dari prinsip pembangunan berkelanjutan.
Dengan kata lain, ekonomi hijau merupakan suatu model pendekatan pembangunan ekonomi yang tidak lagi mengandalkan pembangunan ekonomi berbasis eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan. Ekonomi hijau merupakan suatu lompatan besar untuk meninggalkan praktik-praktik ekonomi yang mementingkan keuntungan jangka pendek yang telah mewariskan berbagai permasalahan yang mendesak untuk ditangani.
Herman Daly (1991), ahli ekonomi ekologi Amerika Serikat, terkenal dengan penekanannya atas apa yang ia sebut sebagai “Teorema Ketidakmungkinan”: mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak mungkin bisa tumbuh secara tak terbatas dalam lingkungan yang terbatas. Pernyataan ini menegaskan bahwa keberlanjutan sektor perekonomian tidak dapat tercapai jika tidak diimbangi dengan kelestarian lingkungan.
Pada banyak kasus, ekonomi hijau yang seharusnya dapat mendukung pembangunan berkelanjutan menjadi sekedar “kemasan hijau” karena akumulasi kapitalis dan eksplotasi sumber daya alam terus dilakukan.
Sebagai contoh, dilansir dari Tirto.id (19/02/2021), Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam sebuah pembahasan terkait pembangunan Bendungan Karian, menyampaikan permintaannya agar aktivitas penebangan hutan dihentikan. Menurut Luhut, hutan merupakan sumber persediaan air dan Indonesia harus mempersiapkan diri menghadapi potensi ancaman kekurangan air yang terjadi di kemudian hari.
Ibarat “termakan omongan sendiri”, Luhut tidak menyadari bahwa ia sendiri berada dibalik beroperasinya perusahan-perusahan raksasa yang hingga saat ini telah memporak-porandakan alam dan hutan Kalimantan. Terungkap dalam berbagai sumber, Luhut adalah seorang pengusaha energi yang memiliki perusahan Toba Sejahtera Group. Berdasarkan laporan dari Coalruption “Elit Politik dalam Pusat Bisnis Batubara” mengungkapkan perusahan tersebut terbagi menjadi enam cabang, yakni batubara dan pertambangan, migas, perindustrian, properti, pembangkit listrik, serta kehutanan dan kelapa sawit.
Dengan kata lain, keberadaan perusahan-perusahan raksasa para elit di negeri ini, secara tidak langsung telah mematikan tumbuh-kembangnya perekonomian masyarakat lokal, praktek ekonomi yang benar-benar selaras dengan alam. Sebagaimana dijalani masyarakat adat yang tersebar di seluruh Indonesia.