Menyoroti Hak Masyarakat Adat, Hopes Kopi Bahas Scientific Forestry

Bogor – Komunitas Hopes Kopi (HK) gelar seri diskusi keempat bertajuk “Dari Scientific Forestry Menuju Tata Kelola Inklusif: Hak Masyarakat Adat atas Hutan.” Pada Kamis (14/11).

Seri diskusi ini demi melanjutkan warisan intelektual dalam meneladani laku tindak almarhum Prof. Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan, Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, IPB University.

Bertempat di kedai Hopes Kopi yang juga kediaman Prof. Hariadi di sekitar kawasan Center for International Forestry Research (CIFOR), forum diskusi tersebut menghadirkan pembicara dengan berbagai latar belakang. Turut hadir Bayu Eka Yulian dari Pusat Studi Agraria IPB, Kiagus M. Iqbal dari Sajogyo Institut, perwakilan HuMa Indonesia, Wahidul Halim, serta dihadiri oleh kalangan mahasiswa dengan background keilmuan yang berbeda.

Sebagai pembicara pembuka, Kiagus M. Iqbal selaku perwakilan dari Sajogyo Institut memaparkan bahwasanya selama ini kita selalu memandang hutan dengan sudut pandang yang sempit, bahkan berbagai kebijakan kehutanan sekarang terlalu mencerminkan perspektif Eurosentris. Ia juga membagikan pengalamannya ketika membersamai dan melihat kehidupan masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) yang sangat bergantung pada hutan di wilayah setempat

“Masyarakat di NTT bolak-balik di hutan setiap hari untuk mencari kayu bakar, rumput untuk pakan ternak, tanaman-tanaman obat dan pangan. Selain itu, untuk memelihara hutan peran perempuan sangat banyak. Namun, praktik pemeliharaan hutan oleh negara justru tidak melihat hal itu,” ucapnya.

Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa terdapat beberapa norma-norma masyarakat adat yang oleh masyarakat adat itu justru upaya untuk melestarikan hutan, namun gagal dilihat oleh negara. Bagaimana kearifan masyarakat adat dalam mengelola hutan, tetapi abai oleh perhatian negara.

Sementara itu, Peneliti Pusat Studi Agraria Bayu Eka Yulian, mengacu pada buku Prof. Hariadi Kartodihardjo, “Dibalik Krisis Ekosistem Terdapat Krisis Cara Berpikir”, ia menerangkan bahwa kerusakan Krisis ekosistem merupakan produk dari kesalahan berfikir teknokratik yang menganggap hutan itu sebagai komoditas dan mengabaikan fungsi sosial dan lingkungan. Bahkan, tak jarang hutan didefinisikan oleh para scientific forestry hanya sebagai hutan an sich.

BACA JUGA   Polresta Tidore Berhasil Amankan 148 Kantong Captikus yang Dipasok dari Halut ke Lelilef

Sosok yang akrab disapa Mas Bey tersebut juga menambahkan bahwa mitologi-mitologi yang lahir dan dipraktikkan oleh masyarakat adat adalah upaya mereka menjaga dan melestarikan fungsi ekosistem.

“Bagi masyarakat adat, rusaknya ekosistem – robohnya sebuah pohon – tidak hanya sekadar krisis ekologi yang terjadi, tetapi juga soal hilangnya kebudayaan, adat-istiadat, dan berbagai ritual yang ada di dalamnya, namun dunia kampus selalu memsimplifikasi masyarakat adat dengan pemikiran-pemikiran kampus,” tuturnya.

Selanjutnya, Perkumpulan HuMa Indonesia yang diwakili oleh Wahidul Halim dalam kesempatannya menjelaskan beberapa poin yang sejauh ini masih menjadi persoalan. Misalnya, penatapan hutan adat yang masih mengalami kendala, serta masih banyak pekerjaan rumah terutama yang berkaitan dengan teknis penatapan hutan adat yang belum terselesaikan. Di sisi lain ia juga menyoroti masih rumitnya regulasi soal masyarakat adat, sehingga membutuhkan payung hukum yang betul-betul mengatur soal masyarakat adat.