Metaverse, Siapkah Kita?

Kemudian ada Web 2.0 User Generated Content di mana pengguna (user) dapat memproduksi konten yang akan dipublikasikan, meski data utama masih tersentralistik di penyedia layanan (centralized database) dan bersifat lebih dinamis, seperti yang saat ini kita gunakan misalnya protocol XML/RSS. Web 3.0 User Owned Content berarti pengguna dapat menguasai secara penuh konten/aset digital yang ia miliki tanpa ada intervensi dari penyedia layanan (platform) atau bersifat Decentralized Database, contohnya teknologi blockchain yang sudah mulai dikenali masyarakat umum.

Blockhain sendiri merupakan teknologi pencatatan data yang bersifat desentralisasi dan tidak dikuasai pihak/entitas tertentu. Pengguna biasanya menggunakan blockchain dalam bentuk mata uang kripto (crypto currency) dengan monetisasi konten digital atau komisi dari penjualan konten digital.  Mata uang yang digunakan dalam menunjang ekosistem metaverse pun sudah mulai dikenal dan digunakan oleh masyarakat hari ini. Uang kripto Bitcoin (BTC), Etherium (ETH), MANA, SANDS, AXS, dan lain-lain. Dengan beragam produk-produk yang telah tersedia di marketplace yang juga bersifat virtual seperti tanah, rumah, mobil, pakaian, aksesoris, karya seni, dll.

Metaverse yang sudah mulai berjalan sekarang dapat dilihat gambarannya dalam game populer “roblox” yang ada di ekosistem blockchainsandbox”. Selain itu, ada “decentraland” yang ada di ekosistem blockchain “mana” dan beberapa platform lainnya. Untuk dapat mengakses platform tersebut kita harus memiliki aset digital yg digunakan sebagai alat pertukaran di dunia metaverse versi platform masing-masing.

Meski demikian, platform tersebut secara grafik masih rendah dan butuh pengembangan lebih lanjut, untuk benar-benar menciptakan semesta (universe) baru yang saling terhubung menjadi satu universe yang dikenal dengan metaverse.

BACA JUGA   Baru 76 Tahun, Sebuah Refleksi Kemerdekaan

Peluang dan Ancaman Metaverse?

Dalam konteks pengembangan teknologi semua hal bisa terjadi, bahkan dari hal-hal yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Sudah tentu ada implikasinya bagi manusia, karena  teknologi sejatinya adalah alat bantu yang memudahkan manusia  dalam menjalani hidup. Pengembangan teknologi  tetap harus memperhatikan norma-norma/etika yang berlaku dalam dunia riil. Meski teknologi yang dikembangkan berkembang begitu pesat dan canggih, tetapi ketika bertentangan dengan norma sosial yang berlaku maka hal tersebut tidak diperkenankan.

Penggunaan teknologi yang berlebihan (overuse) dapat memberikan dampak yang kurang baik. Akses informasi yang sangat luas, memberikan kesempatan bagi setiap orang untuk memanfaatkannya. Di sisi lain hal itu tidak ditunjang dengan akses pendidikan yang memadai, sehingga ketika akses terhadap teknologi (internet) yang begitu luas sedangkan akses pendidikan masih terbatas, hal ini menimbulkan kesenjangan dalam perilaku individu di masyarakat dan cenderung merubah kultur (budaya) aslinya, sehingga dibutuhkan literasi dalam penggunaan teknologi baru.

Metaverse dipandang sebagai sebuah fenomena “ada” dalam dunia maya, sedangkan alam semesta (realita) merupakan fenomena “ada” dalam dunia nyata. Meski terdapat perbedaan dimensi di mana keduanya (metaverse dan universe) berada, tidak bisa dipungkiri bahwa keduanya memang ada. Meski demikian, metaverse membuat manusia tak lagi tahu membedakan realitas tak nyata (tetapi sangat berpengaruh terhadap kehidupannya) dengan yang nyata. Hal ini disikapi dengan bijak, siapkah kita? Apakah metaverse ini merupakan peluang atau justru ancaman bagi kehidupan manusia di masa depan?