Omnibus Law dan Nasib Pekerja Indonesia*
Oleh : Riski Ismail, SE
Pegiat Fola Literasi TOBACCA
Biarlah Pengalaman Masa Lalu Kita Menjadi Tonggak Petunjuk, dan Bukan Tonggak Yang Membelenggu Kita
(Mohammad Hatta)
Penghujung tahun lalu negeri ini dikejutkan dengan pertanyataan Presiden Joko Widodo dalam pidato pertamanya terkait dengan omnibus law setelah dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia 2019-2024. Jokowi menyebutkan bahwa omnibus law bakal menyederhanakan kendala regulasi yang dianggap berbelit dan panjang (tribunjabar.id). Istilah omnibus law berasal dari omnibus bill, yakni UU yang mencakup berbagai isu atau topik (Kamus Hukum Merriam-Webster). Bryan A Garner, dalam bukunya Black law dictionary ninth edition menyebutkan bahwa omnibus law berkaitan atau berurusan dengan berbagai objek atau hal sekaligus. Atau dengan kata lain aturan yang bersifat menyeluruh dan komprehensif, tidak terikat pada satu rezim pengaturan saja.
Omnibus law yang tengah dibuat Pemerintah Indonesia, terdiri dari dua Undang-Undang (UU), yakni UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Perpajakan. Omnibus law rencananya akan menyelaraskan 82 UU dan 1.194 pasal. Alasan pemerintah membuat omnibus law lantaran sudah terlalu banyak regulasi yang dibuat. Tak jarang, satu regulasi dengan regulasi lainnya saling tumpang tindih dan menghambat akses pelayanan publik, serta kemudahan berusaha. Sehingga membuat program percepatan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sulit tercapai. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia mencatat, dalam periode 2014 hingga Oktober 2018, pemerintah telah menerbitkan 8.945 regulasi. Terdiri dari 107 Undang-Undang, 765 Peraturan Presiden, 7.621 Peraturan Menteri, 452 Peraturan Pemerintah.
Bank Dunia mencatat, posisi skor Indonesia di sepanjang 1996-2017 selalu minus atau di bawah nol. Menurut rumusan skala indeks regulasi Bank Dunia, skor 2,5 poin menunjukkan kualitas regulasi terbaik, sementara skor paling rendah adalah -2,5 poin. Pada 2017, skor Indonesia menunjukkan angka -0,11 poin dan berada di peringkat ke-92 dari 193 negara. Tak hanya membuat indeks regulasi Indonesia rendah, banyaknya regulasi juga telah memunculkan fenomena hyper regulation. Oleh karena itu, penyelenggara pemerintah merevisi aturan perundang-undangan yang saling berbenturan. Jika dilakukan secara konvensional, revisi undang-undang secara satu per satu diperkirakan akan memakan waktu lebih dari 50 tahun. Dengan begitu pemerintah berpikir bahwa skema omnibus law adalah jalan satu-satunya yang bisa menyederhanakan regulasi dengan cepat.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengatakan bahwa pemerintah menyusun RUU omnibus law dalam rangka untuk membuat rezim perpajakan sesuai prioritas pemerintahan dalam mentransformasi ekonomi. Selain itu, untuk mengantisipasi perubahan terutama di digital ekonomi dan untuk membuat sistem pajak Indonesia kompetitif dengan perpajakan global (cnbcindonesia.com). Akan tetapi dalam hal kebijakan yang di jalankan pemerintah tak menampik mendapat respon pro dan kontra dari kalangan masyarakat terutama dari kalangan buruh dan mahasiswa. Dalam waktu singkat omnibus law telah mencuri perhatian, pasalnya dalam waktu 100 hari penyusunan draf omnibus law haruslah selesai untuk diserahkan kepada DPR.