Perpustakaan NBCL dan Kehidupan Literasi Mashur Tomagola

Mashur sewaktu memenuhi undangan Wadah Foundation di Bali

Berada di iklim intelektual yang sama, baik di Lentera maupun HMI. Kemampuannya mengelola organisasi, mampu mengantar Mashur menjadi Sekertaris LAPMI (Lembaga Pers Mahasiswa Islam) HMI Cabang Makassar. Jabatannya di LAPMI mendorong Mashur untuk sering melakukan investigasi dan juga membangun jejaring gerakan literasi. Tahun 2005 ia juga menggagas berdirinya Sekolah Sosiologi Kritis di kampus UVRI  dan terus konsisten di gerakan literasi, hingga kini.

Membangun Perpustakaan NBCL

Di tahun 2006, setelah menyelesaikan kuliahnya, Mashur kemudian kembali ke Ternate. Kondisi Ternate yang saat itu kekurangan buku bacaan, mendorong ia dan rekannya sesama alumnus makassar, Siti Gormawati, untuk mendirikan rumah baca, tepat setahun setelah kepulangan mereka. Berlokasi di Gambesi Ternate, rumah baca tersebut mereka beri nama Karabala, yang berarti sesuatu yang baru, dengan jumlah koleksi sebanyak 2000 judul buku saat itu. Dari rumah baca inilah proses menuju pembangunan perpustakaan NBCL dimulai.

“Tahun 2006 kami pulang, saya dan teman saya, Siti Gormawati, banyak sekali bawa pulang buku dari makassar. Torang mulai rumuskan harus bikin apa, buku kita waktu itu sekitar 2000 judul,” jelas Mashur.

Pria yang juga biasa dipanggil Cecep ini menceritakan, bahwa kegemarannya membaca buku, terutama buku-buku yang bermuatan kritik sosial, memang awalnya hanya gagah-gagahan. Namun ia akui kegemarannya tersebut, sedikit banyak telah mengubah caranya melihat dunia dan membentuk daya kritisnya.  Walaupun situasi yang berbeda akhirnya harus ia hadapi seusai menyandang gelar sarjana, ia mengaku sempat berhitung soal karir, pekerjaan dan dari mana ia bisa memperoleh pendapatan. Sementara aktivitasnya di dunia literasi sudah tidak mungkin ia tinggalkan, rumah baca yang ia dirikan tentu membutuhkan waktu dan perhatian.

BACA JUGA   Renjana Cafe, Semangat Baru Seorang Konsultan Perencanaan
Situasi diskusi malam di NBCL

Sempat diberi nama Epistem, rumah baca tersebut lalu berubah nama menjadi Karabala, demi memasukkan unsur lokal, mengingat kata Karabala yang berasal dari bahasa Ternate. Hampir semua tokoh penting di Ternate ia datangi, guna meminta dukungan pembangunan rumah baca Karabala.

“Awalnya torang kase nama Epistem, agar relevan dengan konteks lokal, kemudian sempat kase nama Karapoto, tapi untung tra jadi, kemudian torang sepakat namanya menjadi Karabala, selain berasal dari bahasa lokal, juga terinspirasi dari kisah Imam Husein di Karbala,” lanjut Mashur sambil tertawa.

Waktu berjalan, Mashur kemudian bergabung di LML (Lembaga Mitra Lingkungan), sebuah lembaga yang mengurusi persoalan ekologi. Sedang rekannya bergabung dalam program PNPM Mandiri saat itu. Dari aktivitas mereka inilah, biaya sewa tanah dan biaya listrik rumah baca dapat tertangani.

Sejumlah aktivis ikut membantu pembangunan NBCL

Semesta sepertinya berpihak kepada Mashur dan kegiatannya. Selang beberapa waktu sejak  rumah baca berdiri, datanglah telpon dari seorang dosen di Ternate, sang dosen menyatakan bahwa ada seseorang yang tertarik dengan kegiatan mereka. Seorang mahasiswa lulusan AS tertarik dan coba mencarikan sponsor untuk kegiatan literasi di Rumah Baca Karabala. Mashur pun diperkenalkan dengan Sosiolog terkenal, Imam Prasodjo.