Tapi lebih dari pada itu implementasi kedaulatan rakyat dalam Pilkada harus memastikan independensi hak pilih yang dimilikinya tidak terganggu hanya karena alasan pragmatis dan transaksional. Mampu mengakses visi dan visi, rekam jejak serta tawaran program calon kepala daerah yang akan dipilih.
Demikian pasca Pilkada, ada periode yang sangat penting, dimana pemilih lebih dituntut untuk menjalankan kewajibannya. Yakni mengawal, apakah visi misi itu bisa dijalankan dengan baik, apakah janji kampanye yang telah disampaikan dapat diakses dan bisa menuntut pertanggungjawaban pemipin eksekutif dan legislatif yang dipilih. Sama halnya dengan pemimpin eksekutif yang terpilih dalam Pilkada juga memiliki kewajiban memastikan visi dan misi berjalan dan terlaksana dengan baik.
Dengan demikian, terkonstruksinya demokrasi dalam Pilkada tidak hanya diukur dengan hasil akhir dalam penyelenggaraannya, tapi pasca Pilkada, rakyat berkewajiban untuk mengawal jalannya pemerintahan dengan baik. Rakyat sebagai pemberi mandat lebih jelih dan menjadi spionase dalam melihat proses demokrasi pasca Pilkada tersebut terus berjalan.
Dari proses tersebut dapat dikatakan bahwa ujung dari sebuah proses kontestasi politik elektoral adalah kemauan yang tulus bagi sang pemimpin terpilih untuk meletakkan rakyat di atas segala-galanya untuk kepentingan kemakmuran dan kesejahteraan bersama, disinilah sebenarnya hakekat dari pelaksanaan Pilkada dan kedudukan warga sebagai pemilih yang berdaulat dalam bingkai demokrasi, penglegitimasian kemakmuran dan kesejahteraan dalam kaidah ushul fiqih disebutkan “Ta-syarruful imamii A’lilra’iyati manuutuum bil mashlahah” bahwa tindakan dan kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya haruslah berdasarkan kepentingan dan kemaslahatan rakyat, disinilah sinegritas antara bagaimana kemakmuran ekonomi, kesejahteraan masyarakat dan tingkat pengetahuan yang tinggi adalah faktor penentu bagi terciptanya nuansa kehidupan politik yang demokratis.
Dirgahayu RI yang ke 79.