Refleksi Hari Buruh; Membangun Hubungan Sehat antara Buruh dan Dunia Usaha di Maluku Utara

Oleh:

Ghozali Elfridho (Ketua Umum HIPMI Kota Ternate)

Tanggal 1 Mei selalu datang membawa dua wajah, di satu sisi, semangat solidaritas buruh, di sisi lain, tantangan serius bagi dunia usaha untuk membaca ulang relasi antara tenaga kerja dan modal. Dari perspektif kami di Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Hari Buruh Internasional bukan sekadar seremonial mengibarkan spanduk tuntutan, tetapi saat yang sangat penting untuk mengkaji ulang persoalan mendasar yang selama ini menjadi benang kusut dunia ketenagakerjaan di provinsi ini.

Maluku Utara hari ini menikmati geliat ekonomi yang ditopang sektor tambang, perkebunan, dan jasa. Tapi geliat itu penuh paradoks. Di satu sisi, pertumbuhan ekonomi tahun 2024 tercatat mencapai 17,64% menurut BPS, tertinggi se-Indonesia. Namun, pertumbuhan itu tidak otomatis memperbaiki nasib buruh. Masih banyak pekerja yang hidup di bawah standar layak. Survei menunjukkan bahwa lebih dari 58% buruh di sektor pertambangan dan industri pendukung di Maluku Utara berstatus kontrak jangka pendek, rentan PHK sepihak, tanpa jaminan kesehatan dan keselamatan kerja yang layak.

Kita harus jujur, hubungan antara pengusaha dan pekerja di Maluku Utara hari ini terlalu banyak dijalankan dalam logika untung-rugi sempit. Banyak perusahaan, demi mengejar target investasi, menekan biaya produksi sampai ke titik yang mengorbankan kesejahteraan buruh. HIPMI melihat ini sebagai bom waktu. Karena pengusaha yang berpikiran pendek, yang hanya mencari keuntungan tanpa membangun kualitas SDM, pada akhirnya menciptakan ketidakstabilan industri. Buruh yang tidak sejahtera tidak mungkin produktif. Buruh yang terus dieksploitasi tanpa perlindungan akan menjadi sumber konflik sosial yang pada akhirnya menghantam dunia usaha itu sendiri.

Di sisi lain, harus juga diakui bahwa sebagian kalangan buruh belum cukup dipersiapkan menghadapi perubahan dunia kerja modern. Masalah produktivitas, disiplin kerja, dan keahlian teknis masih menjadi PR besar. HIPMI mencatat bahwa sekitar 65% buruh di sektor industri Maluku Utara belum memiliki sertifikat kompetensi kerja resmi. Di tengah tuntutan industri yang makin berbasis teknologi dan standar global, ini membuat daya saing buruh kita tertinggal dan rentan tergilas arus tenaga kerja asing maupun tenaga kerja dari luar daerah yang lebih siap.

BACA JUGA   Bantu Ringankan Beban Warga, Relawan Turun Tangan Serahkan Bantuan untuk Korban Musibah Banjir di Halteng

Pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, juga belum memainkan peran maksimal dalam membangun iklim ketenagakerjaan yang sehat. Program pelatihan tenaga kerja lebih sering seremonial ketimbang berbasis kebutuhan riil industri. Kewajiban perusahaan untuk mengikutsertakan pekerja dalam BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan pun banyak yang hanya dipenuhi di atas kertas, tanpa pengawasan efektif. Data Disnakertrans Maluku Utara menunjukkan pada tahun 2024, hanya sekitar 41% dari total pekerja sektor swasta yang aktif membayar iuran BPJS secara penuh dan rutin.

Selaku Ketua HIPMI Kota Ternate, saya percaya, peringatan Hari Buruh 1 Mei harus menjadi titik balik untuk membangun hubungan yang lebih sehat antara buruh, pengusaha, dan pemerintah. Pengusaha harus lebih berani berinvestasi pada kesejahteraan dan pengembangan kualitas buruh, bukan hanya mengejar laba cepat. Buruh harus didorong untuk terus meningkatkan keterampilan dan profesionalismenya, memahami bahwa dunia kerja modern menuntut adaptasi tanpa henti. Pemerintah harus menciptakan regulasi yang adil, berpihak pada kemajuan dunia usaha yang berkeadilan sosial, bukan regulasi yang mandul atau sekadar melindungi segelintir elit kapitalis.

Just a moment...