Oleh : Nuryani Abdullah*
Kekerasan merupakan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh manusia-manusia yang tidak beradab. Terutama kekerasan terhadap perempuan. Apapun alasannya, tindakan tersebut tidak bisa dibenarkan dan agama manapun tidak membenarkan tindakan ini.
Akhir-akhir ini, kasus kekerasan terhadap perempuan di Maluku Utara semakin meningkat, termasuk Kota Tidore. Bahkan boleh dikatakan Kota Tidore saat ini sudah pada situasi “Darurat Kekerasan Terhadap Perempuan”. Hal ini dibuktikan dengan maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan di Tidore.
Berdasarkan data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Provinsi Maluku Utara pada tahun 2020 tercatat sebanyak 144 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Tidore masuk urutan ke 7 bersamaan dengan Kabupaten Morotai sebanyak 4 kasus.
Selain itu, berdasarkan data dari Ditreskrim Polda Maluku Utara terhitung sejak Januari hingga Agustus 2021 tercatat ada 8 kasus kekerasan terhadap perempuan di Kota Tidore. Sedangkan data dari Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A),
Sebanyak 21 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi sepanjang 2021, terdiri atas kekerasan fisik sebanyak 3 kasus, kekerasan psikis 3 kasus, kekerasan seksual 12 kasus dan penelantaran sebanyak 1 kasus, serta lain-lain sebanyak 4 kasus.
Di awal tahun 2022 (Januari-Februari), Berdasarkan data kekerasan situs Simfoni milik Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (27/02) ada 43 kasus yang terjadi di Maluku Utara, Tidore masuk urutan ke-3 setelah Kota Ternate dan Kabupaten Halmahera Utara dengan jumlah 6 kasus.
Data-data di atas menunjukkan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan seperti fenomena gunung es karena yang terlihat hanya puncaknya saja, kenapa bisa demikian? Karena jumlah kasus yang terjadi di lapangan berpotensi jauh lebih tinggi dari yang dilaporkan/tercatat.
Masih banyak korban-korban kekerasan yang takut bersuara, takut melapor, karena berbagai macam faktor, salah satunya yaitu “tradisi penghakiman/menyalahkan korban atau victim blaming”. Victim Blaming tersebut merupakan kebiasaan dari masyarakat bahkan instansi-instansi kita yang sampai hari ini masih terus dilanggengkan dan menjadi penyakit sosial yang bisa membunuh psikis dari korban-korban kekerasan.
Berapa bnyak lagi perempuan yang harus menjadi korban akibat tindakan yang dilakukan oleh para predator ini? Tentu hal ini adalah masalah Darurat yang seharusnya menjadi perhatian serius dari semua pihak yang berwenang baik dari pemerintah, kepolisian, DPRD, maupun berbagai elemen gerakan dan masyarakat.
Semua pihak harusnya bergandengan tangan untuk sama-sama melawan, mengawal, dan menyuarakan pencegahan dan penuntasa kasus-kasus ini. m
Berupaya menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, dan menekan angka kekerasan yang ada di Kota Tidore Kepulauan.
Semua pihak, baik masyarakat maupun aparatur negara diharapkan tidak pernah membela atau melindungi pelaku dengan alasan apapun lalu mengabaikan korban. siapapun yang membela pelaku, melindungi pelaku, dan melanggengkan perbuatan pelaku, adalah bagian dari para predator tersebut.