Tujuh buah Forno berjejeran diatas tungku perapian, Forno enam ruas mulai dipanaskan dengan cara dibakar menggunakan kayu.
Om Mur dan Ci Hajar, panggilan akrab Rusmiyati harus berbagi tugas “Istri biasa bagian pembakaran dan menjual, sedangkan saya bagian penggilingan serta pembakaran forno,”. Dengan cekatan satu forno panas telah terisi tepung singkong. Permukaan forno biasa ditutup untuk menjaga suhu tetap panas dan bisa membakar sagu secara merata.
“Tak ada jeda, setelah itu langsung dijual keliling kampung selagi hangat, jika masih ada yang tersisa, biasanya dijemur. Orang disini juka suka sagu kering,” ucap Ci Hajar.
Sagu Lempeng dan Budaya Kuliner Masyarakat Tidore
Sagu Lempeng atau dalam keseharian masyarakat Tidore menyebutnya Hula Keta, merupakan salah satu sumber pangan yang akrab dengan kebudayaan Kuliner Tidore. Kata Hula berarti sagu sedangkan Keta berarti Forno.

Sebagai menu alternatif di sebagian besar masyarakat Kota Tidore Kepulauan. Produk turunan dari olah singkong ini cukup digemari seantero Maluku Utara. Di pasar tradisional, warung Kelontong atau diatas meja makan, Sagu Lempeng mudah ditemui. Dibandingan dengan sagu lempeng Papua yang berbahan dasar dari pohon sagu (Metroxylon), Sagu Lempeng masyarakat Maluku utara berbahan dasar singkong atau ubi kayu cukup melimpah.
Daya tahan sagu lempeng yang dapat bertahan berbulan-bulan dan kaya akan sumber karbohidrat, menjadikannya bagian dari budaya kuliner masyarakat Tidore. Di rumah orang Tidore, Sagu Lempeng menjadi menu wajib yang hadir diatas meja makan sekalipun hanya tampil sebagai penghias, namun pada waktu tertentu Sagu Lempeng menjadi menu utama. Umumnya, pangan yang bertekstur keras ini dinikmati dengan lauk ikan atau dabu-dabu dengan cara dicelupkan pada teh hangat. Orang-orang dipesisir Tidore seringkali menjadikan Sagu Lempeng sebagai padanan Gohu, salah satu jenis kuliner dari olahan ikan mentah.
Namun begitu, Sagu Lempeng tidak sekedar menjadi bagian dari budaya kuliner Tidore tetapi juga dikenal secara umum di berbagai daerah di Maluku Utara dengan bentuk yang beragam. Yang patut menjadi perhatian serius kita bersama yaitu minimnya animo anak muda untuk mewarisi tradisi pembuatan sagu yang hanya dilakoni oleh tetuah-tetuah di kampung. (*)