Walau raganya misterius, “penanya” tetap tajam, hampir tiap minggu di koran-koran Hindia Belanda maupun negara lain, ia terus menyuarakan anti-kolonialisme. Saat itu, orang tidak membicarakan koruptor atau politisi partai yang buron. Di mimbar-mimbar dan diskusi-diskusi, orang ramai membahas sosok Tan Malaka sebagai buron pejuang. Buronan yang sedang berjuang bagi tanah airnya, namanya di sebut di seantero negeri.
Waktu itu, stok tokoh nasional seperti tiada habisnya. Di tanah air, juga ada “putra sang fajar” yang tak kalah garang, Soekarno, tokoh pemimpin pemuda pergerakan yang dipastikan menjadi incaran berikutnya. Berbagai pamflet dan selebaran serta terbitan-terbitan di tanah air ramai oleh propaganda Soekarno, rencana di digul-kan (diasingkan) pun seperti tinggal menunggu waktu. Soekarno muda tumbuh dengan menghayati perjuangan organisasi pergerakan-pergerakan rakyat. Mulai dari Budi Utomo (1908), Muhammadiyah (1912), Syarikat Islam (1912), ESDV (1914), Taman Siswa (1920) hingga Partai Komunis Indonesia (1926), dimana kemudian ia pun tampil memimpin PNI.
Soekarno seperti berusaha mencari cara untuk mempersatukan organisasi pergerakan yang terbelah dengan ideologi yang berbeda-beda. Tulisan yang bertajuk “Nasionalisme, Islamisme, Marxisme (Nasismar)” pada 1926, menggambarkan cita-cita Sukarno akan persatuan. Tulisan tersebut terbit melalui biro pers Suluh Indonesia Muda. Melalui tulisannya dapat kita telusuri bahwa ia memang menghendaki persatuan Indonesia. Ia terus berjuang mempersatukan ideologi-ideologi yang menurutnya berpengaruh di Asia. Hingga bertahun berikutnya ia berhasil menggali formula persatuan yang kini kita kenal dengan Pancasila.
“Akan berhasil atau tidaknya kita menjalankan kewajiban yang seberat dan semulia itu, bukanlah kita yang menentukan. Akan tetapi, kita tidak boleh putus-putus berdaya-upaya, tidak boleh habis-habis ikhtiar menjalankan kewajiban ikut mempersatukan gelombang-gelombang tahadi itu! Sebab kita yakin, bahwa persatuanlah yang kelak kemudian hari membawa kita ke arah terkabulnya impian kita, Indonesia-Merdeka!,” tulis Soekarno dalam Suluh Indonesia Muda, 1926.
Setelah tulisan “nasismar” yang terbit 1926 bersamaan dengan berdirinya PNI, Soekarno lalu dianggap berbahaya oleh otoritas Belanda. Pada akhir desember tahun 1929 ia ditangkap akibat pemikiran dan pergerakannya yang dianggap mengganggu penguasa. Ia pun dijebloskan ke penjara Banceuy di Bandung, tidak di digul-kan, tidak juga diasingkan ke Belanda seperti halnya Ki Hajar, Mohammad Hatta dan Tan Malaka. Setelah setahun menunggu sidang pengadilan Hindia Belanda, ia pun menyampaikan pledoi di Gedung Landraad dengan pidato puluhan lembar, yang ia beri judul “Indonesia Menggugat”. Pidato yang terbit dan dicetak berulang-ulang hingga saat ini.
Di pengadilan, di atas mimbar keadilan ia mengurai secara utuh model kolonalisme dan imperialisme barat. Menurutnya, Indonesia sedang mencari “isme-nya” sendiri dan melepaskan diri dari belenggu keterjajahan. Melalui naskah pledoi tersebut, alih-alih ia membela diri, mimbar pengadilan justru dijadikannya sebagai panggung perlawanan politik.