Pada saat bertanya pun orang kebanyakan juga kesulitan membuat pertanyaan. Padahal pertanyaan yang benar adalah setengah dari jawaban. Alih-alih bertanya, membuat pertanyaan pun tidak mampu. Soal ketidakmampuan membuat pertanyaan ini, yang dialamatkan Pramoedya Ananta Toer pada sejumlah wartawan yang mengajukan pertanyaan kepadanya juga bisa jadi contoh.
“Saya sering tidak sabaran kalau menghadapi mereka. Mereka datang ke sini dan menanyakan pertanyaan-pertanyaan bodoh. Mereka tidak tahu apa yang mereka bicarakan, saya benar-benar tidak sabar kalau menghadapi mereka”
(hal xxv, wawancara Andre Vltcek dan Rossie Indira)
Pram juga mengeluhkan keluarganya yang tidak mau belajar dan menambah pengetahuan, yang sebenarnya bisa jadi gambaran umum masyarakat kita;
“Anak cucu saya tidak mau membaca suratkabar. Saya tidak mengerti mengapa hal ini bisa terjadi, mereka tidak lagi punya budaya membaca, mereka lebih senang menonton televisi, tidak punya keinginan menambah ilmu.”
Artinya tanpa anda mau belajar baik itu sekolah formal atau melalui pembelajaran sepanjang hayat, tak ada pikiran. Tak ada manusia, yang ada hanya robot-robot, budak-budak, masyarakat konsumtif, masyarakat penonton yang bodoh dan dibodohi. Sudah tak ada ruang kosong yang tak dikuasai kapitalisme dan kontrol negara sekarang ini, untuk anda bisa menyebut diri manusia bebas yang memungkinkan ruang itu ada seperti di jaman pra-kapitalisme.
Tanpa keseriusan dan ketekunan belajar, sudah tak bisa ditemui mereka yang layak disebut filsuf sekarang ini tanpa pendidikan formal filsafat. Sebab yang terjadi adalah mereka hanya mengeluarkan percikan-percikan filosofis tanpa sistematika, filsuf amatir, filsuf jalanan. Menyebut seseorang filsuf, jika dia hanya mendapatkan skill melalui course, bukan discourse tidak bisa dibenarkan. Nanti juga lama-lama kita akan ketemu fakta dari perbualannya, kalau yang bersangkutan itu lebih banyak ngawurnya dibanding tertib berpikir.
Hal ini sama kiranya terjadi dengan ilmu sastra yang ada fakultas dan ada sarjananya. Karena sejumlah orang senang buat puisi, cerpen dan menulis novel maka oleh sesuatu dan lain hal dia ditahbis jadi sastrawan. Padahal bukan lulusan sastra. Sejumlah sarjana teknik karena berasal dari institut ternama bikin sekolah, bikin kursus dan mengajar, merasa lebih mampu dari mereka yang lulus dari fakultas keguruan.
Jadi sekali lagi saya tegaskan, disiplin filsafat tidak sedang bangkrut, justru makin signifikan karena sarjana filsafat akan bisa memimpin masyarkat dan mengorganisir kritik kritik pada pemikiran-pemikiran palsu, propaganda ideologi anti manusia, keserakahan para politisi dan pemodal, perusakan alam, dan dogmatisme agama, baik agama religi maupun agama saintisme. Pekerjaan sarjana filsafat itu sungguh menantang, cuma satu saja, memanusiakan manusia, dari kecenderungannya untuk jadi robot, jadi tuhan, jadi diktator, jadi sophist.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=235061838611867&id=100063241567304