Suara yang Tak Tersuarakan: Wajah Kekerasan Seksual di Tengah Masyarakat 

Oleh:

Gusti Ramli

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) telah mengubah wajah dunia. Dari operasi robotik yang menyelamatkan nyawa hingga pembelajaran daring yang menjangkau pelosok negeri, segalanya kini serba instan, serba digital. Namun di balik gegap gempita itu, dunia tidak menjadi tempat yang sepenuhnya aman, terutama bagi mereka yang hidup dalam tubuh yang dianggap “lemah” pada perempuan dan anak-anak.

Di era digital ini, komunikasi tak lagi mengenal batas, tetapi justru membuka celah baru bagi kekerasan. Hoaks menyebar secepat kilat, data pribadi jadi komoditas, dan relasi sosial tergantikan oleh layar dingin. Namun, tulisan ini bukan tentang teknologi itu sendiri—melainkan tentang sunyi yang mendera di tengah hingar bingar kemajuan. Sunyi yang berasal dari jeritan korban kekerasan seksual, pemerkosaan, hingga pembunuhan yang tak terdengar, atau sengaja dibungkam.

Tubuh Perempuan di Tengah Perburuan Kekuasaan

Kekerasan seksual dan pemerkosaan yang berujung pada pembunuhan bukan sekadar kejahatan; ia adalah penghianatan terhadap nilai kemanusiaan. Di Maluku Utara, tubuh perempuan bukan hanya menjadi objek; ia menjadi medan perburuan, simbol kekuasaan, dan pelampiasan nafsu. Kekerasan ini bukan fenomena Tunggal, ia lahir dari sistem yang timpang: hukum yang rapuh, budaya yang menyalahkan korban, dan politik yang diam.

Sebagian besar pelaku bukan orang asing. Mereka bisa dari lingkungan terdekat (keluarga, teman, bahkan aparat). Dan lebih menyakitkan lagi, ketika korban yang melapor justru disudutkan, diinterogasi, ditanya “pakaianmu seperti apa malam itu?”, “mengapa tidak menolak?”, “kenapa baru melapor sekarang?” seolah-olah tubuh mereka tak berhak menentukan.

Keadilan yang Tak Menyapa Korban

Hukum Indonesia sebenarnya sudah memberi ruang. Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS No. 12 Tahun 2022) adalah capaian penting. Namun dalam praktiknya, implementasi hukum masih tersendat. Banyak aparat belum dibekali perspektif korban dan gender. Di ruang penyidikan, korban justru disakiti kembali oleh sistem yang seharusnya melindungi.

BACA JUGA   Menanti "Putra Mahkota" Ali Ibrahim!

Sementara di parlemen, tarik-menarik kepentingan politik membuat suara korban tenggelam. Minimnya representasi perempuan di legislatif memperparah situasi. Layanan seperti rumah aman, pendamping hukum, dan konseling trauma pun masih terbatas, baik jumlah maupun jangkauannya.

Patriarki dan Budaya Diam yang Membunuh

Di balik angka-angka itu, ada budaya yang diam. Budaya patriarki yang menganggap laki-laki lebih tinggi derajatnya; budaya diam yang menyuruh perempuan untuk sabar, tutup mulut, dan menanggung malu. Korban takut melapor karena khawatir dianggap aib keluarga atau dicap “perempuan rusak.”

Literasi gender yang rendah membuat kekerasan dianggap “wajar”, bahkan dalam rumah tangga. Di ruang publik, perempuan diposisikan sebagai objek, bukan subjek. Tak jarang, tubuh perempuan menjadi ladang penghakiman sosial, bukan perlindungan moral.

Angka dan Nyawa yang Hilang

Pada 2023, Maluku Utara mencatat 410 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Sebanyak 184 adalah korban perempuan, dan 273 adalah anak-anak. Tahun 2024, provinsi ini menduduki peringkat keempat tertinggi dalam kekerasan berbasis gender. Sementara itu, pada 2025, kasus serupa kembali menggegerkan ruang publik—sarapan kita ditemani berita kekerasan, makan siang disuguhi tangis korban di layar ponsel. Perempuan tidak aman, bahkan di ruang yang disebut “rumah.”

Just a moment...