Urgensi Penataan Sistem Pemilu sebagai Upaya Penguatan Stabilitas Sistem Pemerintahan Presidensial

Sistem pemerintahan presidensial, kepala negara yang sekaligus menjabat sebagai kepala pemerintahan, dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Di Indonesia sendiri dengan melihat perubahan UUD 1945 terutama aspek-aspek yang mengatur tentang kekuasaan eksekutif dan legislatif serta relasi antara keduanya, dengan pilihan mengikis karakteristik sistem parlementer, upaya itu lebih dikenal dengan purifikasi sistem presidensial yaitu:

1. Mengubah pemilihan Presiden/Wakil Presiden menjadi dipilih langsung oleh rakyat

2. Menata ulang posisi MPR dan menghapus pertanggungjawaban presiden/eksekutif kepada lembaga perwakilan, dan;

3.  Memperjelas proses pemakzulan (Impeachment) kepada presiden/wakil presiden

Sementara itu, dalam sistem pemerintahan parlementer, perdana menteri dipilih oleh parlemen melalui penunjukan secara langsung untuk menjalankan fungsi eksekutif. Biasanya, dalam sistem parlementer ini pemilu oleh rakyat dilakukan saat memilih anggota parlemennya saja, sedang perdana menteri ditunjuk oleh suara mayoritas partai politik parlemen pemenang pemilu.

Masa Jabatan

Dalam masa jabatan kepala negara dan pemerintahan, sistem pemerintahan presidensial sudah ditetapkan dan memiliki UU yang jelas. Sedangkan sistem pemerintahan parlementer, masa jabatan perdana menteri tidak menentu atau tergantung dari parlemen. Di Indonesia ketentuan tentang masa jabatan Presiden telah dikunci didalam UUD 1945 yaitu:

Pasal 7 UUD NRI 1945 secara tegas berbunyi: ‘Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan’. Artinya, masa jabatan presiden dan wakil presiden maksimal hanya diperbolehkan dua periode.

Sehingga menurut penulis, isu penambahan masa jabatan presiden apabila disandingkan ke dalam tradisi sistem presidensial sungguhlah teramat bertentangan dan tidak memiliki alasan yang kuat. Penekanan ini sengaja dimasukkan agar mungkin disuatu masa kita tidak lagi tertarik menguras energi untuk mengotak-atik soal yang barang pasti sudah final, jelas dan kongkrit. Sebab dalam setiap jejak kepemiluan dan kepresidenan, jabatan laksana orgasmus tertinggi yang senantiasa merayu dan menggoda para pemangku untuk menambal dan memperpanjangnya.

BACA JUGA   Dan Kapal itu Akhirnya Tiba

Sistem Kepartaian

Secara teoritis Maurice Duverger, membagi sistem kepartaian atas tiga yaitu Pertama, Satu partai (Uni Party) Istilah partai tunggal dipakai baik oleh partai yang memang benar-benar satu-satunya partai dalam suatu negara maupun untuk partai yang mempunyai kedudukan dominan diantara beberapa partai lainnya. Kedua, Dua Partai (Dwi Party) Konsep sistem dwi partai biasanya diartikan adanya dua partai atau adanaya beberapa partai dengan peranan dominan dua partai, kita dapat melihat pada negara amerika dan inggris. Ketiga, Multi Partai (Multi Party). Terdapat banyak partai dan pengaruhnya berimbang antara satu dengan dengan yang lainnya.

Dalam konteks ke-Indonesiaan sendiri, kita menerapkan sistem kepartaian multi partai, hal itu dapat dilihat pada besaran jumlah partai politik peserta pemilu, pada tahun 1999 terdapat 48 partai, pemilu 2004 terdapat 24 partai, pemilu 2009 terdapat 38 partai, pemilu 2014 terdapat 12 partai, dan pemilu 2019 terdapat 14 partai politik. Namun didalam UUD 1945 maupun peraturan perundang-undangan hampir kita tidak menemuka secara jelas dan kongkrit penjelasan mengenai sistem kepartaian apapun, terlebih sistem multi partai. Namun para penafsir konstitusi melihat secara constitutional importance tersirat amanat untuk menjalankan sistem kepartaian secara multi partai dan dapat dipahami sebagai berikut: