Urgensi Penataan Sistem Pemilu sebagai Upaya Penguatan Stabilitas Sistem Pemerintahan Presidensial

Pertama Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang (Pasal 28 UUD 1945) Kedua, Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat (Pasal 28 E Ayat (3) UUD 1945). Ketig, Pasangan Presiden dan Wakil Presiden diusulan oleh partai politik atau gabungan partai politik (Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945). Kata ‘‘gabungan partai politik’’ artinya paling sedikit dua partai politik yang menggabungkan diri untuk mencalonkan presiden untuk bersaing dengan calon yang lainnya. Dengan demikian dalam pemilu presiden dan wakil presiden paling sedikit terdapat tiga partai politik. Inilah kira-kira yang menjadi dasar konstitusional sehingga dalam praktek sistem kepartaian di Indonesia mengadopsi Multi Party.

Mengutip Scot Mainwaring, “sistem presidensial dan sistem multi partai secara bersamaan akan rentan terhadap pemerintahan oleh minoritas dan menciptakan immobilitas yang berimbas pada kelesuan eksekutif, dan kondisi ini akan berakibat pada kehancuran demokrasi”.

Berjibun Konfigurasi Problematika

Adapun sekelumit permasalah yang telah coba diidentifikasi sejauh kemampuan penulis, sebagai berikut; Pertama, Pada pertengahan 1990-an, Juan Linz melakukan penelitian di  negara-negara Amerika Latin yang dominan menggunakan sitem presidensial,  mengungkapkan bahwa sistem parlementarisme jauh lebih unggul dibandingkan dengan presidensialisme. Dapat dilihat pada stabilitas negara dan pemerintahan dapat berjalan efektif. Kedua, Scot Mainwaring pada tahun 1992-1993, mengungkapkan fakta bahwa pada negara-negara Amerika Latin bukan persoalan presidensialisme semata namun lebih kepada kombinasi yang sulit dari presidensialisme dengan sistem multi partai yang terfragmentasi.

Sehingga terjadi pembelahan kekuasaan antara cabang kekuasaan eksekutif dan cabang kekuasaan legislative. Ketiga, Pada tahun 1995 para sarjana di bidang hukum melakukan penelitian dengan mengamati fenomena yang sama, mengemukakan bahwa presidensialisme dapat berjalan seperti parlementarisme melalui jalur koalisi. Faktanya kesimpulan ini hanya akan menjadi hipotesa apabila mengacu pada praktek koalisi yang terjadi di Indonesia yang justru menelurkan banyak persoalan baru.

BACA JUGA   Bukan "Apa yang Mau Diselamatkan?" Namun Apa yang Harus Diselamatkan!

Demikian juga permasalahan dalam bentangan sejarah sistem multi partai dan sistem presidensial sepanjang rezim reformasi yang dapat dilacak sebagai berikut; Pertama, Potensi permasalah dalam kabinet multi partai dan sistem presidensial jauh mengarah kepada political interest ketimbang pada kepentingan negara dan bangsa.

Kedua, Pertimbangan spoil system lebih menonjol dibandingkan merit system dalam pengangkatan menteri/pejabat setingkat menteri. Dalam beberapa case ada menteri yang mengaku tidak menguasai bidangnya, namun karena ditunjuk oleh presiden makai ia harus menjalankan tugas kementeriannya. Bayangkan betapa sistem ini telah melahirkan orang yang menjalankan jabatan dan ia tidak mengerti jabatan itu.

Ketiga, Ambivalensi dualisme loyalitas Menteri yaitu, loyalitas kapada ketua parpol atau loyalitas kepada presiden. Bahwa pada fase yang paling buruk apabila presiden terpilih adalah kader partai politik, ia pasti terjebak pada ketaatan pada ketua parpol atau konstitusi (yang merupakan sari pati dari nilai-nilai luhur kemasyarakatan).