Keempat, Conflict of interest, adanya kompetisi yang tidak sehat antara lembaga kepresidenan dan kabinet kepresidenan dan di lain sisi antara sesama meteri di dalam kabinet kepresidenan. Dalam sistem presidensial menteri adalah pembantu presiden, menteri harus mengkonsolidasikan suksesi visi-misi presiden. Namun pada penerapannya adapun menteri yang justeru mengontrol seluruh tugas kementerian bahkan mengambil keputusan-keputusan strategis yang hanya bisa diambil oleh seorang presiden, pada era Presiden Jokowi periode pertama, ada beberapa Menteri yang didepak dari jabatannya karena berkonflik dengan presiden dan wakil presiden dan ketika berada di luar pemerintahan justru balik menyerang presiden (kebiasaan seperti ini tidak terdapat dalam sistem presidensial).
Di sisi lain, disharmonisasi antara sesama menteri masih diperlihatkan, ini menggambarkan bahwa masih terdapat visi dan ego sektoral kementerian, yang pada dasarnya cukuplah hanya satu visi, yaitu visi presiden.
Kelima, Semakin abstraknya transparansi komitmen pemerintahan dalam bernegara, yang ditandai dengan melemahnya kemampuan masyarakat memahami tertib pemerintahan. Sebab seringkali kebijakan Menteri tidak berkesesuaian dengan presiden, lain yang diusulkan meteri lain juga yang diusulkan presiden. Menteri mengusulkan penambahan masa jabatan presiden dan ide penundaan pemilu namun presiden menolak seluruh usulan tersebut. Ciri ini tidak mencerminkan pola sistem presidensial yang efektif.
Keenam, terganggunya tugas-tugas menteri karena sibuk melakukan “manuver politik” menjelang pemilu. Pada masa Presiden Megawati, presiden pernah menegur dengan keras Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) yang dijabat oleh Susilo Bambang Yudhoyono, karenak melakukan manuver politik yang justru mengarah dan dapat membahayakan kedudukan presiden.
Di lain kasus, Presiden Jokowi justru sebaliknya, melakukan manuver politik untuk mengendorse menteri tertentu sebagai bakal calon presiden, hal ini tentunya dapat menurunkan citra dan marwah presiden sebab tindakan ini tidak lazim dalam tradisi pemilu dengan sistem multi partai terlebih dengan corak strong presidensial sistem.
Ketujuh, Sistem multi partai menciptakan kemacetan dalam mengkosolidasikan kepentingan rakyat dan kebijakan negara, kompetisi partai yang tinggi mengarah pada terciptanya konflik terbuka. Hal itu dapat dilihat diberbagai pemberitaan di berbagai media bahwa faktanya kompetisi di dalam pemilu adalah kompetesi memilih partai politik. Kompetisi di dalam pemilu bukanlah kompetisi memilih paslon sehingga suksesi pemilu itu ditentukan oleh oligarki partai politik.
Tinkering Brain Masa Pendaftaran Capres-Cawapres
Integritas dan kepastian hukum penyelenggara pemilu kembali dipertanyakan usai langkah KPU memajukan pendaftaran capres-cawapres, sebab perlu diingat sebelumnya Komisi II dan KPU sepakat mengundurkan jadwal perdaftaran dari bulan februari mejadi bulan oktober, maka terdapat range waktu yang jauh. Namun tiba-tiba setelah mundur, kemudian malah dimajukan kembali. Tentunya publik akan mempertanyakan apa motif dibalik tindakan KPU tersebut, dan tentunya kita tidak bisa menghilangkan prasangka political mutualist interest akan menjadi sebuah keniscayaan, suatu praduga bagi publik untuk bertanya demikian, juga untuk memperoleh kepastian hukum terhadap lembaga yang didirikan dengan topangan integritas dan independensi.