Oleh:
Syamsul Bahri Abd. Rasyid
“Nasi tidak akan menjadi bubur, jika orang yang belajar memasak, sudah belajar menakar volume air sedari awal”.
(Syamsul Bahri Abd Rasyid)
Gerakan sadar lingkungan di Indonesia mulai merembet hingga ke kelas menengah bawah setelah postingan Greta Thunberg pada 20 Agustus 2018, yang melakukan aksi demonstrasi di depan gedung parlemen Swedia, the Riksdag, untuk menuntut para politisi agar lebih banyak menaruh peduli pada lingkungan (kampanye dampak perubahan iklim). Gerakannya ini turut memantik anak muda dan tokoh lingkungan di hampir seluruh penjuru dunia, termasuk Rocky Gerung, yang ia lontarkan lewat statement-statementnya di talk show maupun di perkuliahan dan pertemuan-pertemuan akademis. Gerakan sadar lingkungan ini semakin dikenal oleh masyarakat luas, dengan tersebarnya video-video dokumenter hasil ekspedisi Dandhy Laksono di platform media sosial.
Diskusi tentang perubahan iklim umumnya selalu digaungkan dalam perspektif ekologis. Selain karena jalur pembahasannya imanen (kalau tidak bisa dibilang berdekatan) dengan perspektif ekologis, waktu yang ditempuh untuk menerima akibat dari pengelolaan sumber daya alam yang tidak efektif, pun menjadi andil besar, kenapa diskusi tentang dampak perubahan iklim begitu imanen dalam perspektif ekologis. Kendati demikian, ada pula faktor lain yang jika ditelaah secara lebih mendalam dan ilmiah, juga turut menjadi penyebab terjadinya perubahan iklim.
Kalau dilihat ke permukaannya, akan dilihat pernyataan-pernyataan kaum konservatif-kultural bahwa faktor perubahan iklim adalah kutukan nenek moyang (atau alam), sementara kaum religius-radikal akan mengatakan itu sebagai azab Tuhan karena ulah manusia. Tapi, jika ditelaah secara ilmiah, ada pula faktor lain yang menjadi alasan kenapa sampai terjadi perubahan iklim, yakni faktor astronomis. Ada pula faktor geologis dan geografis, namun hal itu bisa dinetralisir bila manusia tahu betul cara menghargai alam (etika lingkungan), pun dengan estimasi waktu untuk potensi bencana iklim itu akan terjadi.
Perspektif Ekologis
Dalam catatannya yang dimuat dalam Liputan6.com pada 2017 lalu, Citra Dewi memaparkan bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah jumlah CO2 di atmosfer rata-rata mencapai 400 ppm pada 2015. Hal ini dikarenakan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari bahan bakar fosil yang tak diimbangi dengan luas kawasan hutan yang semakin menipis. Akibatnya, reaksi timbal balik (secara kimiawi) antara oksigen dan karbon dioksida menjadi tidak seimbang sehingga terjadilah yang namanya pemanasan global, yang pada titik kulminasinya menjadi perubahan iklim.
Permukaan air laut naik, es di kutub utara dan selatan mencair, serta manusia yang hidup di wilayah pesisir, pada suatu saat harus mengungsi untuk beradaptasi dengan garis pantai baru. Bahkan, dalam bukunya yang berjudul “The Water Will Come: Rising Seas, Sinking Cities, and the Remaking of the Civilized World (2017),” Jeff Goodell menyebut bahwa seluruh bangunan dan peradaban yang dibangun manusia akan menjadi relik bawah laut, seperti Atlantis dalam karangan Plato. Itu baru di laut, belum banjir di darat akibat pembabatan hutan secara membabi buta.