Kengerian imajinasi pemanasan global ini belum dihitung dengan polusi udara yang semakin kemari semakin kotor. Saat ini, bahkan 10 ribu orang meninggal tiap harinya karena polusi udara. Mengutip “The Uninhabitable Earth: Life After Warming (2019),” diproyeksikan 70 tahun dari sekarang, sekitar dua miliar orang di seluruh dunia akan menghirup udara di atas ambang batas sehat yang ditetapkan World Health Organization (WHO). Lebih lanjut, plastik juga menjadi penyebab utama terjadinya pemanasan global dan gangguan kesehatan. Penelitian berjudul “Strategies to Reduce the Global Carbon Footprint of Plastics” yang diterbitkan di jurnal Nature Climate Change pada April 2019 lalu, menyebut bahwa seluruh plastik diproduksi dengan bahan bakar fosil. Sedikit merunut ke belakang, emisi yang dihasilkan pada 2015 saja, mencapai 1,7 miliar metrik ton, dengan catatan setiap dekade produksi plastik meningkat dua kali lipat. Dengan hitungan itu, jika aktivitas ini berjalan konsisten, maka pada tahun 2050 nanti, emisi karbon yang dihasilkan adalah sekitar 6,5 miliar metrik ton, atau 15 persen lebih dari batas karbon global.
Hal ini diperparah dengan pembabatan hutan secara liar, luas lahan kelapa sawit yang semakin meningkat, hingga ke emisi karbon dari bahan bakar fosil yang semakin marak. Untunglah, sebagaimana mengutip AntaraNews pada 21 Maret 2021 lalu, kabarnya PT PLN (Persero) akan mengganti Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) berbasis solar di Maluku dan Maluku Utara menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang ramah lingkungan. Semoga hal itu juga berlaku untuk pembangkit listrik tenaga uap Batubara.
Perspektif Astronomis
Dalam closing statement-nya pada saat diskusi film “Tenggelam Dalam Diam,” yang ditayangkan secara live oleh Greenpeace di kanal YouTube mereka pada 19 April 2021 lalu, Dandhy Laksono menuturkan bahwa salah satu kelompok yang menganggap bahwa perubahan iklim merupakan gejala alamiah adalah kelompok-kelompok ilmuwan yang berpendapat bahwa krisis iklim terjadi karena bumi yang semakin mendekat ke matahari, seperti halnya venus dan merkurius, sehingga panas yang diterima pun semakin tinggi, yang pada titik akhirnya mengakibatkan pemanasan global.
Elon Musk, misalnya, pendiri Space Exploration Technologies (SpaceX) berdarah Afrika Selatan yang bermimpi hidup di Mars dan menganggap manusia sebagai makhluk hidup multiplanet ini, mengutip penelitian-penelitian tokoh-tokoh astronomi bahwa matahari akan punah dan menghancurkan tata surya, termasuk bumi. Hal itu diprediksi akan terjadi dalam kisaran 4 sampai 6 miliar tahun lagi. Manusia sendiri, hanya memiliki waktu sekitar satu miliar tahun lagi untuk dapat bertahan hidup dari naiknya kecerahan matahari sebesar 10 persen setiap satu miliar tahun. Estimasi waktu ini terbilang lama dalam hitungan manusia, namun relatif cepat dalam hitungan astronomi. Hal ini diungkapkan oleh seorang astrofisikawan dari University of Manchester, Albert Zijlstra, dalam jurnal Nature Astronomy pada 2018 lalu. Bahkan, dalam rentang waktu yang paling cepat, 10 ribu tahun di mulai dari sekarang, permukaan air laut diprediksi akan naik setinggi 3 sampai 4 meter, dalam proses geologis, yang itu terhitung secara terpisah oleh pemanasan global perspektif ekologis yang menitikberatkan pada aktivitas manusia.